BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dinamika perkembangan hukum dan
demokrasi di Indonesia dewasa ini belum menunjukkan ketidakkonsistenan sehingga
memicu kekecewaan sebagian masyarakat. Di satu sisi, perkembangan semangat
berdemokrasi di setiap bidang sudah mulai tumbuh. Hal ini dapat terlihat dari
gejala-gejala yang menjadi prasyarat sebuah negara demokrasi, seperti kebebasan
menyatakan penadapat, kemerdekaan berserikat, adanya pemilihan langsung, adanya
terbosan otonomi daerah, kebebasan pers dan lainnya.
Namun di sisi lain, perkembangan hukum sebagai
bagian atau pilar penting dari demokratisasi belum menjadi sebuah nilai (value)
yang terintegral dengan perkembangan demokrasi. Kepuasan terhadap perkembangan
berdemokrasi tidak berbanding lurus dengan perkembangan hukum baik yang tumbuh
di masyarakat maupun perkembangan hukum formil yang menjadi pilar proses
penegakan hukum.
Tertinggalnya hukum dalam proses berdemokrasi
menjadi sebuah ironi mengingat konstruksi hukum bernegara kita yang secara
ideologis tercantum dalam konstitusi UUD 1945 menunjukkan bahwa
Hukum dan Demokrasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 berbunyi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ayat 3 berbunyi: Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Frasa “kedaulatan rakyat” menunjukkan bahwa sumber kedaulatan tertinggi dari negara ini adalah rakyat, namun kedaulatan harus tunduk pada Undang-Undang Dasar karena negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (Machstaat). Visi bangsa ini sudah cukup Nampak pada kalimat yang ada di Pasal 1 ayat 2 dan 3 UUD 1945 tersebut bahwa negara kita meskipun melandasakan pada prinsip demokrasi dengan kedaulatan rakyat sebagai sumber utama, namun kedaulatan itu harus dikelola dan dikontrol secara baik lewat mekanisme hukum.
Hukum dan Demokrasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 berbunyi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ayat 3 berbunyi: Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Frasa “kedaulatan rakyat” menunjukkan bahwa sumber kedaulatan tertinggi dari negara ini adalah rakyat, namun kedaulatan harus tunduk pada Undang-Undang Dasar karena negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (Machstaat). Visi bangsa ini sudah cukup Nampak pada kalimat yang ada di Pasal 1 ayat 2 dan 3 UUD 1945 tersebut bahwa negara kita meskipun melandasakan pada prinsip demokrasi dengan kedaulatan rakyat sebagai sumber utama, namun kedaulatan itu harus dikelola dan dikontrol secara baik lewat mekanisme hukum.
Secara historis filosofis, pertautan antara hukum
dan demokrasi dalam sebuah negara dapat dilacak dari asal muasal lahirnya
negara. Bagi Thomas Hobbes, negara merupakan representasi adanya Kontrak
Perjanjian antara rakyat dan penguasa. Agar tidak terjadi penyimpangan dan
tirani dalam proses perjanjian tersebut maka diperlukan aturan atau hukum untuk
menjaganya. Hukum dan kemudian termanifestasi sebagai organized public inilah
yang kemudian hari menjadi organ yang disebut negara. Negara adalah wajah lain
dari perwujudan hukum untuk mengatur antara rakyat dan yang berkuasa. Dalam
pandangan Hobbes, jika tidak ada hukum, maka demi kepentingan diri, antara
manusia akan terlibat dalam war of all against all (perang semua
melawan semua). Tanpa hukum yang ditegakkan oleh penguasa kuat, maka
individu-individu akan saling membinasakan (homo homini lupus).
Jean Bodin memberi penegasan dalam konteks Penguasa
Kuat. Bodin melihat hukum sebagai perintah raja dan perintah ini menjadi aturan
umum yang berlaku bagi rakyat dan persoalan umum. Semua tradisi dan hukum
kebiasaan hanya akan menjadi absah dengan adanya erintah pemegang kedaulatan
yang menetapkannya dalam hal ini negara atau Raja. Bagi Bodin, kekuasaan raja
adalah kekuasaan tertinggi atas warga dan rakyat. Karena pemikirannya inilah,
Jean Bodin kemudian dikenal sebagai peletak dasar Kedaulatan Negara. Negara
yang memiliki kekuasaan tertinggi itu menghendaki penataan mutlak bagi semua
warga negara[1].
Namun untuk menghindari determinasi negara yang berlebihan, Rousseau
menghadirkan pemikiran untuk menempatkan rakyat sebagai poros utama hadirnya
hukum. Jadi hukum tidak sekedar perintah bagi penguasa sebagai Bodin, tapi
Rousseau menitikberatkan pada pemikiran bahwa hukum itu lahir untuk mengabdi
kepada rakyat karena hukum adalah wujud kemauan dan kepentingan umum yang hidup
teratur dalam system politik negara (volunte generale). Bukan
pula kemauan dan kepentingan orang-orang yang hidup dalam segerombolan yang
tidak teratur ( volonte de tous) dan yang pasti bukan kemauan dan
kepentingan orang per orang (volonte varticuliere)[2].
Rousseau termasuk pemikir hukum yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai
sumber dan pilar utama hukum yang juga identic dengan semangat demokrasi.
Dengan demikian kontruksi pemikiran Hobbes, Bodin dan Rousseau menunjukkan
bahwa pertautan antara negara hukum dan demokrasi menjadi penting dalam sebuah
tatanan bernegara.
Dalam konteks keindonesiaan sebagaiman disebut di
atas bahwa karakter dan visi negara ini sudah tergambar sebagai negara hukum.
Karakter negara hukum yang identic dengan demokrasi sebagaimana dalam
konstitusi oleh beberapa ahli hukum menyebut type negara hukum Indonesia
sebagai negara hukum demokrasi.
Salah satu praktek pelaksanaan kedaulatan rakyat
dalam bingkai demokratisasi adalah terselanggaranya Pemilihan Umum secara
regular dengan prinisip yang bebas, langsung, umum dan rahasia. Pemilu
meruapakan mandat dari dari konstitusi yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah
dalam hal inimemastikan dan melindungi pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam
menyalurkan hak-hak politiknya dalam pemilihan umum. Pemilu sebagai salah satu
praktek berlangsungnya kekuasaan dan pemerintahan secara regular harus
berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan dan nilai-nilai kemanfaatan.
Salah satu prinsip dasar dari Negara hukum
demokratis adalah adanya jaminan yang berkeadilan bagi rakyat dalam
mengekspresikan kedaulatannya. Pemilihan Umum adalah salah satu elemen
penting dalam Negara demokratis yang menjadi media bagi rakyat dalam menyalurkan
aspirasinya sekaligus ruang untuk mengelola kedaulatan rakyat. Pemilu tidak
sekedar memberi kesempatan bagi rakyat untuk memilih, namun juga untuk dipilih.
Pemilihan umum senantiasa menjadi indicator kualitas demokrasi sebuah bangsa.
Apabila pemilu mampu dilaksanakana secara transparan, akuntabel dan
partispatif, maka hal tersebut menunjukkan proses demokratisasi berlangsung
secara positif (on the track). Sebaliknya Pemilu yang dilaksanakan
sekedar memenuhi proseduralism demokrasi namun tidak dilaksanakan secara
transparan, akuntabel dan egaliter, maka hal itu menunjukkan bahwa kualitas
demokrasi masih cukup rendah. Oleh karena itu, karena pemilu merupakan media
bagi rakyat untuk melaksanakan kedaulatannya, maka pemilu harus mencerminkan
kehendak rakyat sebagai dasar pembentukan pemerintah. Melalui pemilu,
pemerintah mendapat legitimasi untuk mengelola pemerintahan, sehingga salah
satu fungsi dari pemilu adalah menjadi sarana legitimasi. Pemilu sebagai sarana
legitimasi politik dengan alasan: pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya
bisa meyakinkan atau setidaknya bisa memperbaharui kesepakatan politik dengan
rakyat. Kedua, melalui pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau
warganya. Ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengandalkan
kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan untuk mempertahankan legitimasi.[3]
Dalam konteks Indonesia, Amandemen
Undang-undang Dasar 1945 yang dilakukan secara gradual di masa awal reformasi
menghasilkan reformasi politik yang cukup signifikan. Salah satu yang cukup
urgen dan radikal dalam amandemen UUD 1945 adalah diaturnya mekanisme Pemilihan
Langsung untuk pemilihan Presiden dan Wakil presiden serta untuk pemilihan
kepala daerah dilaksanakan secara demokratis. Perubahan kedua UUD 1945 pasal 18
ayat (4) menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
Penggunaan kata dipilih secara demokratis tersebut bersifat luwes dan memiliki
dua makna yaitu baik pemilihan langsung maupun tidak langsung melalui DPRD
kedua-duanya demokratis. Untuk itu keputusan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dalam proses menetapkan Kepala Daerah dipilih secara demokratis
dapat digali secara mendalam melalui risalah sidang Panitia Ad Hoc I badan
pekerja MPR RI. [4]
Kata “demokratis” kemudian oleh pembuat undang-undang No 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah diterjemahkan menjadi Pemilihan Langsung.
Sehingga rakyat Indonesia sejak pemilu 2004 telah memilih langsung kepala
eksekutif, dalam hal ini presiden/wakil Presiden serta Kepala daerah dan wakail
kepala daerah.
Setelah berlangsung kurang lebih 6 (enam) tahun,
keberadaan pemilukada belum memberikan optimisme yang kuat akan adanya
keniscayaan demokratisasi yang sehat dan beradab dalam pelaksanaan pemilukada.
Hampir setiap pelaksanaan pemilukada senantiasa disertai dengan sengketa dan
konflik. Dalam konteks Negara hukum, penyelesaian konflik dan sengketa di
pemilukada masih jauh dari praktek kenegaraan yang berdasarkan hukum. Artinya,
penegakan hukum dalam pemilukada masih cukup rendah sehingga konflik dan
sengketa mudah terjadi dan terus berlangsung. Di Pemilukada kabupaten
Puncak Jayapura telah menelan korban tewas sekitar 49 jiwa akibat konflik yang
melibatkan dua calon pasangan yang akan berkompetisi di pemilukada Kabupaten
Puncak Papua. Konflik ini sudah berlangsung sejak Juli 2011[5].
Pada konflik seperti ini, hukum tidak lagi dipandang sebagai sarana untuk
mendukung lahirnya keteraturan dan ketertiban
Dalam perspektif sosiologi hukum, secara umum
penegakan hukum dalam pemilu dan pemilukada masih cukup lemah. Hukum tentang
pemilukada belum terlembagakan secara baik, sehingga proses penyelesaian
pelanggaran dan penyimpangan tidak dapat dikelola secara elegan tapi justru
memicu konflik berkepanjangan. Ada beberapa faktor fundamental yang menghambat
proses pelembagaan hukum dalam penyelesaian perkara hukum pemilukada selama ini[6];
Pertama,
masih cukup rendahnya pemahaman masyarakat tentang mekanisme hukum yang harus
ditempuh ketika berhadapan dengan persoalan yang terkait dengan penyimpangan
dan pelanggaran selama berlangsung pemilukada. Kedua, institusi penegak
hukum dalam Pilkada, dalam hal ini Bawaslu dan Panwaslu tidak bisa bekerja
maksimal karena secara yuridis eksistensi lembaga tersebut memang tidak
memiliki kewenangan yang kuat. Kelemahan panwaslu selama ini terletak pada
ketidakmampuan menindaklanjuti pelanggaran yang dilaporkan masyarakat. Terlihat
bahwa panwaslu tidak memiliki daya eksekusi yang kuat dalam menangani laporan
pelanggaran. Ketiga,
pelembagaan hukum dalam pemilukada juga gagal karena secara substansi UU. 32
tahun 2004 – maupun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah – tidak secara jelas mengatur proses hukum, – baik materi
maupun formil- yang bisa ditempuh ketika berhadapan dengan pelanggaran atau
persoalan hukum dalam pemilukada. Misalnya dalam persoalan Penetapan Pasangan
Calon. UU. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah Pasal 61 yang mengatur
penetapan pasangan calon kepala daerah, tidak mengatur mekanisme hukum apabila
ada pasangan yang keberatan tentang keputusan KPUD tentang penetapan pasangan
calon. Begitu juga dengan tahapan lainnya. Karena tidak jelasnya mekanisme
hukum yang mengatur , maka formula penyelesaian sering berakhir kepada bentrokan
dan anarkhisme seperti yang terjadi di Pemilukada Mojokerto Jawa
Timur pada tahun 2010 yang lalu.
Fenomena pelaksanaan Pemilukada sebagai bentuk
pelaksanaan negara demokratis belum sepenuhnya menghadirkan optimisme terhadap
pelembagaan nilai- nilai hukum dan nilai demokrasi. Hadirnya prinsip hukum dan
demokrasi dalam pelaksanaan pemilukada menjadi penting untuk menunjukkan bahwa
pemilukada tidak sekedar proseduralisme demokrasi yang miskin substansi hukum,
sehingga perlu dikaji sejauhmana prinsip-prinsip negara hukum demokrasi
tersemai dalam pelaksanaan pemilukada.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1.apakah demokrasi itu ?
1.2.2.apakah penngertian hukum
itu ?
1.2.3. Sejauhmana
implementasi prinsip-prinsip negara hukum dalam demokrasi?
1.3 Tujuan
·
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai
bahan pertimbangan bagi dosen pembimbing dalam penilainan mata kuliah sistem hukum indonesia
·
Dan bahan pembelajaran bagi mahasiswa dan
mahasiswi maupun semua instansi untuk memperluas wawasan.
·
Sebagai
bahan pertimbangan bagaimana implementasi hukum dalam kehidupan demokrasi
·
Sebagai
pengkajian hukum dalam kontek demokrasi
·
Mahasiswa memahami prinsip-prinsip demokrasi, hukum
dan hak asasi manusia
·
Mahasiswa
dapat berperilaku demokratis, menjunjung tegaknya hukum di indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pembahasan
2.1.1. Demokrasi
Demokrasi dan Prilaku Demokrasi Negara kita
adalah negara demokrasi, negara yang kehidupannya ditentukan oleh rakyat.
Demokrasi merupakan konsep yang abstrak dan universal. Demokrasi itu telah
diterapkan di banyak negara dalam berbagai bentuk, sehingga melahirkan berbagai
sebutan tentang demokrasi seperti demokrasi konstitusional, demokrasi rakyat,
demokrasi terpimpin, demokrasi liberal dsb. Namun demikian pada dasarnya
demokrasi itu dapat dibedakan atas dua aliran yaitu demokrasi konstitusional
dan demokrasi yang mendasarkan dirinya pada ajaran komunisme (Budiardjo, 1977:
55). Secara umum demokrasi diartikan pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh
wakil-wakil yang mereka pilih di
bawah sistem pemilihan
bebas (Ravietch, 1991: 4).
Demokrasi yang banyak dipraktekkan sekarang ini adalah demokrasi konstitusional
dimana ciri khasnya adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-
pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi (Budiardjo,
1977: 52) atau dalam peraturan perundangan lainnya. Demokrasi konstitusional
ini sering juga disebut dengan demokrasi di bawah rule of law. Menurut Prof.
Miriam Budiardjo (1977) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan
yang demokratis di bawah rule of law adalah : a. perlindungan konstitusional;
b. badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; c. pemilihan umum yang bebas; 80 d. kebebasan untuk menyatakan pendapat; e.
kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi; dan f. pendidikan
kewarganegaraan. Hal di atas berarti
demokratis tidaknya suatu negara, ditentukan oleh tingkat kesempurnaan
konstitusi atau aturan- aturan negara dalam memberikan perlindungan terhadap
warga negaranya. Begitu juga dengan tingkat jaminan perundang- undangan yang
diberikan terhadap badan kehakiman sehingga tidak memihak, pemilihan umum yang
bebas, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan berserikat,
berorgani-sasi dan oposisi serta pendidikan kewarganegaraan. Hendri B. Mayo
dalam Budiardjo (1977: 62) mengemukakan bebarapa nilai yang mendasari demokrasi
seperti berikut: a. menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara
melembaga; b. menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang sedang berubah; c. menyelenggarakan pergantian pimpinan secara
teratur; d. membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum; e. mengakui serta
menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam
keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku; dan f. menjamin
tegaknya keadilan. Selanjutnya menurut
B. Mayo perincian itu tidak berarti bahwa setiap masyarakat demokratis menganut
semua nilai yang diperinci itu, melainkan bergantung kepada sejarah serta
budaya politik masing-masing. Dalam bukunya Apa Demokrasi itu? Diane Ravitch
(1991: 6) mengemukakan soko guru demokrasi sebagai berikut: a. kedaulatan
rakyat; b. pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; c.
kekuasaan mayoritas; d. hak-hak minoritas; e. jaminan hak asasi manusia; f.
pemilihan yang bebas dan jujur; g. persamaan di depan hukum; 81 h. proses hukum yang wajar; i. pembatasan
pemerintah secara konstitusional; j. pluralisme sosial, ekonomi dan politik;
dan k. nilai-nilai toleransi,
pragmatisme, kerjasama dan mufakat.
Pendapat Miriam Budiardjo pada hakekatnya tidak berbeda dengan soko
gurunya demokrasi yang dikemukakan Diane Ravitch, perbedaan hanya terletak
dalam perumusan. Demokrasi tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan,
tetapi juga suatu gaya hidup serta tata masyarakat tertentu, yang karenanya
juga mengandung unsur- unsur moral. Pengertian yang terakhir ini semakin
berkembang sehingga demokrasi itu bukan hanya tertuju pada aspek pemerintahan
dalam negara tetapi sudah menyangkut dengan tata kehidupan masyarakat dalam
berbagai aspek seperti ekonomi, pendidikan, pengajaran, organisasi, dsb.
Organisasi mahasiswa sebagai Student Government, dalam alam demokrasi juga
harus mengindahkan soko guru atau nilai-nilai demokrasi di atas. Begitu juga
dalam pendidikan bahkan dalam pembelajaran di kelaspun dituntut demokratis.
Pengambilan keputusan dalam alam demokrasi dilakukan dengan musyawarah, mufakat
atau dengan suara terbanyak. Dalam musyawarah setiap anggota harus memiliki
kebebasan dalam mengemukakan pendapat baik secara lisan ataupun tertulis.
Kebebasan berbicara dan berpendapat adalah darah hidup setiap demokrasi
(Ravitch, 1989: 9). Selanjutnya dikatakan oleh Ravitch (1989:9) warga suatu
demokrasi hidup dengan keyakinan bahwa melalui pertukaran gagasan dan pendapat
yang terbuka, kebenaran pada akhirnya akan menang atas kepalsuan, nilai-nilai
orang lain akan lebih dipahami, bidang- bidang mufakat akan dirinci lebih jelas
dan jalan kearah kemajuan terbuka. Inilah sebagian yang hendak dicapai dalam
pembelajaran di sekolah yaitu ditemukannya kebenaran terutama kebenaran ilmiah,
nilai-nilai yang dianut oleh orang lain dapat dipahami, serta terjalinnya
saling menghormati dan kerjasama. Setelah musyawarah dilaksanakan, pengambilan
keputusan dapat dilakukan dengan mufakat suara bulat (musyawarah mufakat) atau
dengan pemungutan suara terbanyak (voting). Prinsip utama dalam pengambilan
keputusan ini adalah bahwa keputusan harus ditentukan oleh mayoritas 82 anggota tanpa mengabaikan kepentingan
minoritas (Ravitch, 1989: 6). Setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah
atau voting harus didukung oleh kelompok yang semula tidak setuju atau yang
kalah dalam voting. Dalam budaya politik masyarakat Indonesia baik pada tataran
pemerintahan terendah maupun pada pemerintahan tertinggi (pusat), prinsip
demokrasi yang selalu dipakai adalah musyawarah untuk mufakat dalam
kekeluargaan (Sihombing, 1984:12). Nilai kerjasama, toleransi dan saling
menghargai merupakan soko guru dalam demokrasi seperti yang telah diungkapkan
sebelumnya. Nilai-nilai ini akan terlihat dalam penyusunan dan pelaksanaan
program kerja dari suatu organisasi, dalam prilaku kehidupan sehari-hari baik
dalam keluarga, sekolah ataupun dalam masyarakat. Pelaksana-an dari nilai-nilai
ini akan melahirkan program kerja yang aspiratif bukan kemauan seseorang.
Biasanya program kerja yang aspiratif ini akan didukung oleh semua anggota
dalam pelaksanaannya. Pragmatisme memperlihatkan bahwa penyusunan dan
pelaksanaan program bermanfaat bagi seluruh anggota. Jadi bukan dalam alam
idealis semata atau kemauan sekelompok orang.
Konsep partisipasi merupakan hal penting dalam demokrasi. Sebagaimana
dikatakan Ravitch (1989: 11) inti tindakan demokrasi adalah partisipasi aktif
pilihan warga sendiri dalam kehidupan umum masyarakat dan bangsa mereka.
Berkaitan dengan ini ada ungkapan mantan Presiden Amerika Serikat yang
mengatakan “ jangan tanya apa yang diberikan negara kepada anda, tetapi
tanyalah diri anda, apa yang telah anda
perbuat untuk negara”. Ungkapan itu dapat diterjemahkan kedalam kehidupan
keluarga, sekolah dan masyarakat. Tanyalah lebih dulu apa yang telah anda
perbuat untuk keluarga, sekolah, atau masyarakat sebelum anda mempertanyakan
apa yang diberikan keluarga, sekolah, atau masyarakat kepada anda. Penerapan
prinsip demokrasi di Indonesia disesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya
bangsa Indonesia. Nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang sangat banyak itu
disederhanakan dengan mengambil yang universalnya. Inilah yang disebut dengan
nilai-nilai Pancasila. Menurut Sihombing (1984: 9) untuk mendapatkan pengertian
demokrasi Pancasila secara lengkap dan utuh diperlukan 2 alat pengukur yang
saling 83 melengkapi, yaitu: 1) alat
pengukur yang konsepsionil, dan 2) alat pengukur tingkah laku (kebudayaan).
Dari alat pengukur pertama dapat diambil pengertian bahwa demokrasi Pancasila
adalah kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila
Pancasila lainnya, artinya dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu
disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan, mampu mempersatukan bangsa serta dimanfaatkan untuk
meujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengertian semacam ini
lebih bersifat formalistik dan diatur dalam UUD 1945 atau peraturan
perundang-undangan lainnya. Alat pengukur kedua bersifat kebudayaan yaitu
berupa tingkah laku yang bersumber dari
kebudayaan bangsa Indonesia. Pengertian
demokrasi melalui alat pengukur kedua ini melengkapi pengertian melalui alat
pengukur pertama, karena memberikan struktur informal terhadap demokrasi
Pancasila. Kearifan dan bijaksana dalam tingkah laku merupakan kekhasan dalam
demokrasi Pancasila. Pelaksanaan prinsip demokrasi sebetulnya menyangkut dengan
prilaku manusia, baik secara individual maupun secara kelompok, dalam
kedudukannya sebagai warga ataupun sebagai pejabat yang diberi kewenangan.
Prilaku adalah manifestasi dari kebudayaan sebab kebudayaan terujud dan disalurkan
melalui prilaku manusia. Proses pembudayaan berlangsung sepanjang kehidupan
manusia dalam lingkungannya, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan
bermain, lingkungan sekolah sampai kepada lingkungan masyarakat yang lebih
luas. Nilai-nilai yang berkembang dalam lingkungan masyarkat itulah yang
mempengaruhi prilakunya dalam kehidupan. Nilai-nilai itu beraneka ragam
termasuk di dalamnya nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi itulah yang
membentuk prilaku demokratiknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku
demokrasi beraneka ragam, diantaranya adalah
kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara dan kepercayaan
kepada pemerintah. Selain dari itu faktor-faktor lainnya adalah status sosial,
status ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman berorganisasi
(Surbakti, 1992: 144). Disamping itu pengetahuan 84 tentang demokrasi juga mempengaruhi
prilaku demokrasi. Demokrasi bergantung pada warga negara yang berpendidikan
dan berpengetahuan (Ravitch, 1989: 9). Bila kita ingin mewujudkan masyarakat
yang demokratis tingkatkanlah pendidikan dan pengetahuan serta berprilakulah
sesuai dengan nilai-nilai demokrasi seperti yang diungkapkan di atas. Suatu hal
yang sangat penting dalam mewujudkan demokrasi adalah taat akan nilai dan
aturan-aturan hukum yang telah disepakati, karena nilai dan aturan hukum itulah
yang membingkai demokrasi.
2.1.2 Hukum
Pertanyaan pertama yang sering
dikemukakan orang dalam memahami hukum adalah apa itu hukum? Jawabannya
bermacam-macam, ada yang mengatakan hukum itu ada di kantor polisi, di
kejaksaan dan pengadilan. Bagi orang awam jawaban semacam ini wajar-wajar saja sesuai dengan
pengetahuannya. Jika ditanya kepada pemuka adat, hukum itu ada dalam adat
seperti dalam pepatah adat nan tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan. Para
ulama akan mengatakan hukum itu adalah ketentuan-ketentuan yang datang dari
Allah SWT. yang mengatur kehidupan
manusia. Jika ditanya kepada ahlinya jawabannya juga sulit, tak obahnya seperti
menanyakan apa itu waktu. Para sarjana hukum sebetulnya masih berbeda pendapat
dalam merumuskan suatu definisi hukum yang dapat memuaskan semua pihak. Namun
demikian salah satu batasan yang banyak dipahami adalah seperti yang
dikemukakan oleh seorang sarjana hukum yang bernama E. Utrecht, menurutnya hukum
itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengatur
tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
Hukum itu menentukan/ mengatur tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat
dan bersifat memaksa. (E.Utrecht, 1956 : 10)
Seseorang yang melanggar aturan hukum akan dikenakan sanksi dan dapat
dipaksakan kepadanya. Tujuannya adalah agar terjaminnya keamanan, ketertiban,
ketentraman dan keadilan bagi setiap orang dalam masyarakat, termasuk masyarakat
kampus. Ketertiban dapat diwujudkan karena hukum berupaya menetapkan
“kepastian” tingkah laku manusia, baik
85 yang berupa perintah maupun larangan, perintah dan larangan itu
ditegakkan dengan sanksi yang “tegas” dan “nyata” dari negara. Ketentraman yang
diharapkan bukan bersifat sementara atau semu tetapi sedapat mungkin bersifat
abadi dan diterima dengan “tulus” oleh masyarakat. Penerimaan yang tulus dari
masyarakat baru akan terjadi seandainya hukum itu sesuai dengan perasaan
keadilan yang tersimpan dalam lubuk hati mereka. Hukum yang semata-mata hanya
mengabaikan aspek keadilan dan kurang memperhatikan rasa keadilan masyarakat,
pada suatu saat akan menimbulkan tantangan dari masyarakat, seperti pandangan
masyarakat terhadap kasus-kasus hukum yang di proses di pengadilan. Sebaliknya
harus pula dipahami, bukan berarti setiap orang yang berstatus terdakwa (dalam
perkara pidana) harus langsung
dimasukkan ke dalam penjara/lembaga pemasyarakatan. Seseorang yang dihukum menjadi terpidana, ia masih mempunyai
upaya hukum berupa banding (dari pengadilan negeri ke pengadilan tinggi),
kasasi dan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Dalam negara hukum
ada suatu asas yang perlu diingat, bahwa seseorang dianggap tidak bersalah
(presumption of innocence) sebelum adanya keputusan hakim yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Apabila upaya hukum itu sudah
dilalui dan hakim Mahkamah Agung sudah menetapkan keputusannya (menghukum atau
membebaskan) maka tertutuplah upaya hukum untuk mencari keadilan dan putusan
hakim harus dilaksanakan. Hukum diciptakan adalah sebagai suatu sarana atau
instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban subjek hukum (pendukung hak dan
kewajiban) agar masing-masing subjek hukum tersebut dapat menjalankan kewajibannya
dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar. Dengan demikian tujuan hukum
adalah untuk mengatur masyarakat secara damai dengan cara melindungi
kepentingan-kepentingan manusia seperti kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta
benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Bentuk aturan hukum itu bermacam-macam
baik jenis ataupun tingkatannya. Secara umum dibedakan atas hukum publik dan
hukum privat. Hukum publik adalah aturan hukum
86 yang mengatur hubungan hukum antara negara dan warganya (hubungan
vertical) atau sebaliknya. Pelanggaran aturan hukum itu pada dasarnya akan
diproses dan dikenakan sanksi oleh negara, walaupun para pihak yang terlibat
atas pelanggaran hukum itu sepakat untuk berdamai. Hukum yang termasuk kategori
ini diantaranya adalah aturan hukum pidana, hukum tata negara, hukum pajak,
hukum administrasi negara. Contoh pelanggaran aturan hukum pidana seperti:
mencuri, korupsi, merusak harta/kepunyaan orang lain atau negara, menyiksa
orang lain, membunuh, memperkosa, mencemarkan nama baik orang lain,
penyalahgunaan obat terlarang atau narkoba yang dapat diancam dengan hukuman
mati, dan sebagainya. Sedangkan hukum privat adalah aturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara seseorang/ kelompok orang dengan orang lain/ kelompok lain
(hubungan horizontal). Pelanggaran aturan hukum ini penyelesaiannya tergantung
kepada para pihak yang merasa dirugikan, apakah melalui perdamaian ataukah
proses peradilan. Diantara yang termasuk kesini adalah aturan hukum perdata.
Contohnya masalah sengketa harta, masalah jual beli, dan sebagainya. Untuk
menegakkan aturan-aturan hukum di atas dibentuk lembaga-lembaga kekuasaan
kehakiman. Sebelum adanya perubahan, UUD 1945 menentukan bahwa kekuasaan
Kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Melalui perubahan UUD 1945 dibentuk
lagi suatu lembaga sebagai pelaku kekuasaan kehakiman selalin Mahkamah Agung
yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki kewenangan (1) meguji
undang-undang terhadap UUD ; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan UUD ; (3) memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum ; dan (4) memutus pembubaran partai politik. Selain itu,
dibentuk Komisi Yudisial (KY) yang berfungsi sebagai lembaga penegak etika
hakim. Komisi ini mempunyai wewenang dalam proses pemilihan hakim agung dan
pengawasan hakim. Fungsi kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan melalui penyelenggara peradilan. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, 87
lingkungan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Tingkatan (hierarki) hukum dalam suatu
negara juga tersusun sedemikian rupa, dimana ketentuan hukum yang lebih rendah
lingkungan dan kekuatan berlakunya dibatasi oleh ketentuan hukum yang lebih
tinggi. Di negara Indonesia jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
sebelumnya diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR No. III?MPR?2000.
Dewasa ini diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU RI No. 10 tahun 2004 (tentang
Pembentukan Perundang-undangan) sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara
RI tahun 1945 b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang c.
Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada
huruf e tersebut meliputi: 1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur; 2. Peraturan Daerah
kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota
bersama bupati/walikota; 3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat
oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya (badan perwakilan nagari) bersama
dengan kepala desa atau nama lainnya (wali nagari). Ajaran tentang tata urutan
peraturan perundang- undangan mengandung beberapa prinsip. Bagir Manan
(2004:133) menyebutkan prinsip tersebut sebagai berikut : 1. Peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau
dasar hukum bagi peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya. 2. Peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar
hukum dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 88 3. Isi atau muatan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. 4. Suatu
peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut atau diganti atau diubah
dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi atau paling tidak yang
sederajat. 5. Peraturan-peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila
mengatur materi yang sama, maka peraturan yang terbaru harus diberlakukan.
Implikasi tata urutan peraturan perundang-undangan di atas adalah bahwa setiap
peraturan yang dibuat oleh setiap organisasi (termasuk Perguruan Tinggi) harus
mempedomani prinsip di atas. Peraturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan yang lebih tinggi dan peraturan yang lebih rendah tersebut
adalah menjabarkan aturan/ketentuan yang lebih tinggi. Contoh aturan hukum yang
dikeluarkan oleh Dekan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang dikeluarkan
oleh Rektor atau Menteri. Begitu juga aturan hukum yang dibuat oleh lembaga
kemahasiswaan tidak boleh bertentangan dan harus sesuai dengan aturan yang
dikeluarkan oleh Rektor atau aturan yang lebih tinggi. Disamping itu untuk
mentaati peraturan hukum itu sangat diperlukan adanya kesadaran hukum.
Kesadaran hukum akan terwujud bila semua kita mempunyai komitmen yang tinggi
untuk melaksanakan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dan bila hal ini
terjadi terciptalah masyarakat yang aman, tertib dan sejahtera. Kesadaran hukum
itu sebetulnya adalah suatu kesadaran yang ada di dalam kehidupan manusia untuk
selalu patuh dan taat pada hukum. Dalam simposium kesadaran hukum masyarakat
(1975) yang dilaksanakan Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) ditegaskan bahwa kesadaran hukum itu antara lain meliputi
(a) pengetahuan tentang hukum, (b) penghayatan terhadap hukum dan (c) ketaatan
terhadap hukum. Ada suatu asumsi yang mengatakan bahwa semakin tinggi taraf
kesadaran hukum seseorang akan semakin tinggi pula ketaatan dan kepatuhannya
terhadap hukum. Dan sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum seseorang
maka semakin kurang pula ketaatan dan kepatuhannya terhadap hukum. 89 Kesadaran hukum itu berpangkal pada adanya
suatu pengetahuan tentang hukum yang mengatur hidup dan kehidupan. Dari
pengetahuan tersebut akan lahir suatu pengakuan dan penghargaan terhadap
ketentuan-ketentuan hukum, hal ini kemudian akan menimbulkan sikap penghayatan
terhadap hukum tersebut. Apabila sikap ini sudah terwujud dengan sendirinya
ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum akan terwujud pula. Kesadaran hukum
masyarakat (termasuk masyarakat kampus) senantiasa berkembang, oleh sebab itu
wajarlah bila senantiasa diperlukan pembinaan dan peningkatan kesadaran hukum
melalui berbagai kesempatan dan kegiatan seperti dalam Pengenalan Kehidupan
Kampus bagi mahasiswa baru. Penegakan hukum (law enforcement) sangat ditentukan
oleh kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat, penegak hukum (polisi, jaksa
dan hakim) dan terciptanya hukum yang baik. Ketiga komponen penegakan hukum itu
harus bersinergi dan ditopang oleh faktor ketauladanan dari setiap
pemimpin. Kesalahan kita selama ini lebih banyak disebabkan oleh
rendahnya tingkat kesadaran hukum tersebut. Kita tahu adanya aturan, tetapi
kita tidak mentaatinya. Oleh karena itu marilah kita mulai dari diri kita
sendiri, kemudian lingkungan kita, keluarga, sampai kepada masyarakat yang
lebih luas untuk mentaati peraturan-peraturan hukum tersebut.
3. Hak Asasi Manusia Dalam undang-undang Republik Indonesia No. 39 tahun
1999, dijelaskan pengertian hak asasi manusia (HAM) seperti dalam pasal 1 ayat
(1), hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Di samping hak asasi, dalam pasal 67 ditegaskan pula tentang
kewajiban dasar manusia yaitu setiap orang yang ada di wilayah negara RI wajib
patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis dan hukum
internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara
Republik Indonesia. Di dalam perundang-undangan negara Indonesia semua jenis
hak-hak asasi yang harus dilindungi termuat dalam 90 berbagai dokumen dan dokumen tersebut hanya
dibedakan oleh jenis perundang-undangannya. Ketentuan tentang perlindungan
hak-hak asasi termuat dalam Pembukaan UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang
No.39 tahun l999 tentang HAM dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak
sipil dan politik itu jelas termuat dalam peraturan perundang-undangan negara
RI seperti: a. Pembukaan UUD 1945 pada semua alineanya mengandung jaminan hak
asasi manusia seperti alinea pertama berkenaan dengan martabat manusia dan keadilan;
alinea kedua hak asasi bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya; alinea
ketiga hak asasi bidang sosial budaya dan politik; dan alinea ke empat hak
asasi bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hankam (H.A.W. Widjaja, 2000 :
66). b. Undang Undang Dasar 1945. Batang tubuh atau isi UUD 1945 sebelum
dilakukan perubahan (amandemen) mengatur hak asasi manusia dalam 7 pasal antara
lain adalah pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33 dan 34. Namun setelah UUK 1945
dilakukan perubahan (amandemen) maka ada bagian khusus tentang hak asasi
manusia yaitu pada BAB XA dengan rincian sebagai berikut: Pasal 28 A Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28 B (1) Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28 C (1)
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan dasarnya, berhak mendapatkan
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia. (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. 91 Pasal 28 D (1) Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum. (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (3) Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. (4)
Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Pasal 28 E (1) Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya (3) Setiap orang berhak atas kebebasab berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28 F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28 G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan atas perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain. Pasal 28 H (1) Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggl, dan mendapatkan lingkungan
hidup 92 yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Pasal
28 I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (3) Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban (4) Perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (5) Untuk menegakkan
dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 28 J (1) Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang dijalankan 93 Dalam memenuhi dan menuntut hak tidak
terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Pemenuhan,
perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan pemenuhan
terhadap kewajiban asasi manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, bernegara.
c. Ketetapan MPR No. XVII\MPR\1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketetapan MPR tersebut terdiri dari 10
bab dan meliputi 44 pasal. d. Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang merupakan tindak lanjut dari Tap. MPR No XVII/MPR/1998 e. Peraturan perundang-undangan
lainnya yang melindungi Hak Asasi Manusia. Misalnya KUHP, KUHAP dan sebagainya.
2.1.3.Implementasi Hukum Dalam
Demokrasi
Pemilihan umum kepala daerah dan
wakil kepala daerah, atau seringkali
disebut pilkada atau pemilukada, adalah pemilihan
umumuntuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung
di Indonesia oleh
penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala
daerah adalah: Gubernur dan
wakil gubernur untuk provinsi Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten Walikota dan
wakil walikota untuk kota. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini,
pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum dimasukkan
dalam rezim pemilihan umum (pemilu). Pilkada pertama kali
diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga
secara resmi bernama “pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala
daerah” atau “Pemilukada”. Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan
undang-undang ini adalah Pilkada
DKI Jakarta 2007. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta
pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan
beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan
oleh partai politik local
Secara umum pengaturan Pemilukada berdasarkan Pasal
22E jo Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, PP No. No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah., PP No.
17 Tahun 2005 tentang Perubahan atas PP No. 6 Tahun 2005. Pada periode pertama
yakni tahun 2005-2008 sebanyak 473 daerah yang telah menyelenggarakan pilkada
atau 118 pilkada pertahun atau dua pilkada seminggu, sehingga seolah-olah
“tiada hari tanpa pilkada”, sehingga meningkatkan suhu politik di tanah air
sepanjang tahun[7].
Namun di
Implementasi prinisip-prinsip negara hukum dan
demokrasi dalam pelaksanaan pemilukada dapat dimulai dengan parameter nilai
hukum dan demokrasi dalam sebuah negara (konstitusi). Seperti disinggung di
awal bahwa prinsip negara hukum tidak bisa dilepaskan dari prinsip demokrasi.
Beberapa literature dan pendapat pakar hukum berpendapat bahwa sesungguhnya
tidak ada ruang yang bisa memberi celah berpisahnya konsep Negara hukum dan
demokratisasi. Sehingga konsep Negara hukum selalu identic dengan
demokratisasi. Para ahli hukum pasca abad 21 lebih cenderung menggunakan
istilah Negara hukum yang demokratis. Alasannya sederhana bahwa hukum ketika
menjadi instrument Negara dalam menata kekuasaan tidak bisa bekerja tanpa
prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, persamaan hak, partisipasi,
akuntabilitas. Sebaliknya praktek demokrasi yang mengedepankan kesetaraan,
keterbukaan, partisipasi akan mengalamai euphoria tak terbatas dan melahirkan
liberalism demokrasi apabila tanpa disertai oleh tatanan hukum yang beradab.
Konsep Negara hukum memiliki akar historis dalam
memperjuangkan nilai-nilai demokratis[8].
Konsepsi tentang Negara hukum secara garis besar terdiri dari 2 konsep, yakni
aliran the rule of law[9]
dan rechstaat. Istilah rechstaat mulai popular di Eropa sejak abad XIX
meskipun pemikiran itu sudah lama adanya. Sedangkan istilah the rule of law
mulai popular dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885
dengan judul, “Introduction to the study of the law of the constitution”.
Menurut Hadjon, meskipun kedua konsep tersebut berbeda namun dewasa ini
perbedaan itu tidak dipermasalahkan lagi karena kedua konsep itu mengarahkan dirinya
pada satu sasaran utama yaitu, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia[10].
Rechstaat adalah konsep Negara hukum yang
mendekati konsep demokrasi. Menurut catatan Padmo Wahjono, sejalan dengan
perkembangan teori ketatanegaraan konsep rechstaat sering dikaitkan dengan
pengertian demokratis[11].
Atas dasar demokratis, rechstaat dikatakan sebagai “Negara kepercayaan timbal
balik” (de staat van het weder zidjs vertrouwen) yaitu kepercayaan
dari rakyat pendukungnya bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan
disalahgunakan dan kepercayaan dari penguasa bahwa dalam batas kekuasaannya dia
mengharapkan kepatuhan dari rakyat pendukungnya[12].
Karena Negara hukum identik dengan indicator-indikator demokratisasi, maka
konsep Pemilukada dalam konteks Negara hukum secara substansi
memiliki kandungan dengan asas-asas demokrasi.
Dalam konsep rechstaat misalnya asas-asas
demokratis yang melandasi rechstaat menurut S.W. Couwenberg meliputi 5 asas[13],
yaitu asas hak-hak politik (het beginsel dan de politieke grondrechten),
asas mayoritas, asas perwakilan, asas pertanggung jawaban dan asas public (openbaarheidbeginsel).
Asas pertanggungjawaban Negara atas warga Negara selaras dengan prasyarat
Negara hukum rechstaat menurut Stahl, yakni apabila dalam menjalankan tugasnya
berdasarkan undang-undang pemerintah masih melanggar hak asasi karena campur
tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang, maka ada pengadilan
administrasi yang akan menyelesaikan[14].
Konsep pemilukada sejatinya bagian yang menyatu
dengan prinsip negara hukum. Setidaknya hal ini tergambar dari gagasan
Scheltema sebaimanan yang dikemukakan Arif Sidharta Menurut Arief Sidharta[15],
Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsur unsur dan asas-asas Negara
Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) di antaranya; Asas demokrasi
dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta
dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan.
Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu: a. Adanya
mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara berkala;
b. Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh badan
perwakilan rakyat; c. Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan
yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan
mengontrol pemerintah; d. Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan
kajian rasional oleh semua pihak; e. Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan
menyatakan pendapat; f. Kebebasan pers dan lalu lintas informasi; g. Rancangan
undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara
efektif.
Namun konsep teoritik sebagaimana digagas para
pakar tersebut di atas secara dassein belum menunjukkan bahwa pelaksanaan
pemilukada selama ini sudah sepenuhnya memenuhi indicator negara hukum
demokrasi. Dalam konteks formil pelaksanaan, pemilukada sudah memenuhi semangat
atau nilai negara hukum demokrasi yakni adanya kepastian hukum atau “dukungan
“yuridis dalam ketentuan UU Pemilukada sebagaimana tersebut di atas. Namun
secara substansi, prasyarat negara hukum demokrasi yang meliputi aspek
asas hak-hak politik (het beginsel dan de politieke grondrechten),
asas mayoritas, asas perwakilan, asas pertanggung jawaban dan asas public (openbaarheidbeginsel).
Dalam konteks hak-hak politik misalnya, meskipun UU
No 32 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No 12 tahun 2008 tentang
Pemilukada yang pada pokoknya mengatur pencalonan calon Bupati dan calon wakil
bupati Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah
pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau
gabungan partai politik dan perseorangan namun mekanisme hukum ini belum
sepenuhnya memberikan hak-hak politik yang sebenarnya. Hal itu terjadi karena
pada prakteknya Pertama, dalam pencalonan yang melalui parpol berlangsung
secara oligarkhis, yakni hanya pemilihan bakal calon menjadi calon oleh parpol
hanya diukur oleh factor uang dan kedekatan dengan petingggi parpol. Kedua,
kesempatan lewat jalur perseorangan juga belum sepenuhnya menjamin hak-hak
politik setipa orang bisa maju sebagai calon karena biaya pencalonan juga cukup
mahal akibat kultur pemilih masih berorientasi pada persoalan finansial.
Asas mayoritas dan asas perwakilan juga sering
terabaikan dalam mekanisme pelaksanaan pemilukada. Menurut Aural Croissant,
salah satu fungsi pemilu dalam konteks perwakilan adalah kelompok-kelompok
masyarakat memiliki perwakilan ditinjau dari aspek geografis, fungsional dan
deskriptif.[16]
UU pemilukada belum menjamin sepenuhnya pelaksanaan pemilukada yang mampu
meminimalisir golongan yang tidak memilih sebab UU tidak mengatur secara
sistemik mekanisme menjangkau pemilih yang jauh dari TPS, atau pemilih yang
sedang sibuk bekerja dan factor lain yang dapat memicu tingginya angka
partisipasi pemilih sehingga pelaksanaan pemilukada mampu merepresentasikan
suara rakyat yang sesungguhnya. Ketika partisipasi rendah, maka UU Pemilukada
akhirnya gagal memenuhi asas mayoritas yang bertujuan untuk menjamin stabilitas
pemerintah dan kemampuannya untuk memerintah. Sehingga susbtansi asas
perwakilan memiliki hubungan erat dengan asas mayoritas dalam pelaksanaan
pemilukada
UU No 32 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan
UU No 12 tahun 2008 juga tidak sepenuhnya menjamin terpenuhinya asas negara
hukum demokrasi yakni asas pertanggung jawaban dan asas public (openbaarheidbeginsel)..
Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya integrasi system dalam UU
Pemilukada berupa proses pemilihan yang menyatu dengan hasil pemilihan.
Sederhananya, sebuah proses pemilihan pemilukada dapat dinilai berkualitas
apabila memperoleh hasil yang berkualitas, dalam hal ini pemimpin yang
berkualitas. Artinya, ada mekanisme kontrol terhadap pemimpin yang terpilih
dari hasil pilkada sebagai bagian pertangggung jawaban public dan memenuhi asas
public. Apabila UU Pemilukada tidak mengatur soal mekanisme hukuman terhadap
pemimpin yang bermasalah, maka kualitas pemilukada tidak memenuhi prinsip
negara hukum demokratis. Akibatnya banyak kepala daerah yang menjadi tersangka
setelah terpilih.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri
Reydonnyzar Moenek, menuturkan, selama periode 2004-2012 sudah 173
kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan
terdakwa. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah mendapat vonis berkekuatan
hukum tetap dan menjadi terpidana[17].
Secara keseluruhan, di Indonesia terdapat 495 kabupaten/kota dan 33 provinsi.
Jumlah 173 kepala daerah ini menunjukkan sepertiga daerah di Indonesia dikelola
mereka yang bermasalah dengan hukum. Kegagalan pemenuhan prinsip negara hukum
khususnya dalam memenuhi asas pertanggungjawaban public semakin jelas ketika UU
Pemilukada tidak mengatur mekanisme yang bisa mencegah kepala daerah
tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Perlu disadari bahwa pemilukada tidak dengan
sendirinya menjamin (taken for granted) peningkatan kualitas negara
hukum dan demokrasi tanpa melakukan evaluasi dan perbaik terhadap mekanisme dan
system pemilukada tersebut. Dalam konteks pemilukada sebagai sebuah pelaksanaan
negara hukum, maka seluruh pelaksanaan pemilukada harus dimaknai juga sebagai
bagian dari penguatan sebuah system hukum. Pembentukan system hukum telah
banyak diurai beberapa pakar hukum, diantaranya Lawrence M.Friedman.
Menurut Friedman, Sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan hukum
yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1) Struktur; (2) Substansi; (3) Kultur
Hukum[18]
Berdasarkan pendapat tersebut, jika kita berbicara
tentang sistem hukum, maka ketiga unsur tersebut secara bersama-sama atau
secara sendiri-sendiri, tidak mungkin kita kesampingkan. Struktur adalah
keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi mencakupi:
kepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya; kantor-kantor
pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan para hakimnya.
Substansi adalah keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Kultur
hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara
bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat. Dalam
konteks pembenahan system hukum Pemilukada, mengutip gagasan Friedmen maka
harus juga dibenahi secara konprehensif yang meliputi Struktur, Substansi dan
Kultur yang terkait dengan pelaksanaan pemilukada.
Struktur pemilukada meliputi Penyelenggara yang
terdiri dari Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum, Peserta
Pemilukada yang terdiri dari Partai Politik atau Calon Perseorangan dan
Masyarakat sebagai Pemilih. Selain itu dalam konteks penegakan hukum pemilu,
juga meliputi pihak Kepolisian, Kejaksaaan dan Hakim di Pengadilan. Di level
Penyelenggara, permasalahan yang muncul selama ini adalah isu tentang
ketidakmandirian dan ketidaknetralan penyelenggara serta rendahnya kapasitas
dan akuntabilitas penyelenggara pemilu. Dengan demikian perbaikan system dalam
hal ini meliputi adanya penegasan komitmen untuk merekrut penyelenggara yang
memiliki kapasitas sekaligus adanya mekanisme kontrol terhadap penyelenggara
pemilu untuk menjaga independensi dan akuntabilitas
Partai politik dan calon perseorangan juga belum
maksimal dalam mendorong nilai-nilai demokrasi karena dalam kompetisi sering
memunculkan anarkisme dan kekerasan. Selain itu pola oligarki oleh parpol dan
gagalnya para kandidat untuk melakukan pendidikan politik bagi pemilih akhirnya
mendorong lemahnya system hukum dalam pemilukada. Di lain pihak Masyarakat
perlu menumbuhkan partisipasi dalam memilih karena partisipasi pemilih salah
satu indicator kesuksesan sebuah pemilukada.
Kultur pemilu meliputi adanya kesadaran kritis bagi
masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang berkualitas. Selama kultur pemilih
masih berorientasi atau terjebak pada kultur politik uang akibat liberalisasi
politik, maka selama itu pula pelaksanaan pemilukuda gagal memenuhi
prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi. Kultur atau kesadaran hukum dalam
pemilukada terlihat dari masih cukup rendahnya pemahaman masyarakat tentang
mekanisme hukum yang harus ditempuh ketika berhadapan dengan persoalan yang
terkait dengan penyimpangan dan pelanggaran selama berlangsung pemilukada
.Sehingga perlu didorong seruan, kampanye dan pendidikan politik untuk
mendorong terbentuknya pemilih yang rasional dan kritis dalam menumbuhkan
kesadaran hukum dan berdemokrasi dalam pemilukada.
Ketentuan perundang-undangan yang mengatur
pelaksanaan pemilukada merupakan elemen penting dalam pembenahan system
pemilukada. Selama ini undang-undang pemilukada belum mampu sepenuhnya merespon
cita dan visi negara hukum demokrasi dalam pelaksanaan pemilukada. Misalnya
dalam pengaturan praktek politik uang (money politik). Praktek politik uang
setidaknya bermasalah dalam dua aspek, yakni aspek idealisme demokrasi dan
aturan main perundangan. Dalam konteks demokratisasi, fenomena politik uang
memiliki sisi berlawanan dengan idealisme demokrasi. Dinamika demokratisasi
menghendaki adanya kemandirian dan rasionalitas rakyat sebagai actor utama
demokrasi. Pilihan rakyat dalam berdemokrasi harus merdeka dari tekanan dan
intimidasi termasuk tekanan uang. Selain itu pilihan rakyat juga mesti
berdasarkan pertimbangan rasionalitas bukan alasan yang bersifat pragmatis.
Perebutan kekuasan politik seperti apapun bentuknya mesti tetap dalam idealisme
demokrasi. Selama ini politik uang yang terjadi dalam pilkada menggeser fungsi
pilkada sebagai media agregasi rasionalitas politik mencapai kekuasaan menjadi
arena transaksi agen kapitalisme yang mengusung gagasan politik material. Sehingga
pilihan politik yang lahir dari pemilu dan pilkada adalah hasil transaksi
politik material bukan transaksi politik rasional dan mandiri.
Aspek kedua, politik uang juga bermasalah dalam
perspektiv yuridis. Dalam konteks UU No 10 tahun 2008 tentang pemilu misalnya,
disebutkan bahwa Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta
kampanye.(Pasal 84 ayat 1 huruf J) . Dalam UU 32 tahun 2004 tentang
pilkada juga mengatur larangan politik uang, misalnya di pasal 117 ayat
2; Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang
atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya,
atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Singkatnya secara yuridis
politik uang adalah sebuah pelanggaran. Namun menariknya sepanjang pelaksanaan
pilkada 2005 sampai 2008 belum ada satupun kasus money politik yang dibawa ke
pengadilan dan menjadi sebuah putusan final yang bisa dieksekusi. Dalam hal
ini, belum ada satupun pemenang pilkada yang dianulir kemenangannya karena
persoalan money politik. Kasus money politik yang terungkap dalam Kabupaten
Balangan tidak mampu melengserkan pasangan bupati yang terpillih. Hal yang sama
juga secara normative belum diatur soal pembatasan dana kampanye, pengaturan
yang jelas dan mudah tentang penegakan hukum dalam pemilukada. Diperlukan
perbaikan substansi pemilukada dalam hal ini ketentuan peraturan
perundang-undangan yang secara komprehensif mengatur pelaksanaan pemilukada
yang meliputi harmonisasi antara stakeloders pemilukada (struktur), proses
pelaksanaan yang berlangsung secara transparan, akuntabel dan partisipatif
serta substansi yang mendesain lahirnya pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Demokrasi
bukanlah kebebasan tanpa batas, tetapi dinamika demokrasi harus berada dalam
bingkai nilai-nilai dan aturan hukum. Oleh karenanya bila kita ingin mewujudkan
kehidupan demokrasi peganglah nilai-nilai budaya kita dan taatilah aturan hukum
yang ada. Setiap manusia dimanapun berada senantiasa terikat oleh aturan atau
norma kehidupan. Sebelum kemerdekaan, para pendiri negara (the founding
fathers) Indonesia ternyata sudah memikirkan konsep bagi negara hukum yang
kemudian dirumuskan dengan tegas dalam konstitusi. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
menegaskan “Negara Indonesia adalah negara hukum“. Oleh karenanya dalam negara
Indonesia yangb berdasar atas hukum (rechtsstaat ; the rule of law) setiap
warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Mahasiswa sebagai
bagian intergral dari masyarakat dan warga kampus sepantasnya menjadi pelopor
dalam penegakan hukum, taat dan sadar hukum.
Daftar Pustaka
- A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan; Mahkamah Agung di bawah Soeharto,.Elsam. Jakarta. 2004.
- B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat
- Buku kedua jilid II C. Risalah Sidang PAH I. Sekjen MPR RI Jakarta. 2000
- Franz L Neumann, The Rule Of law: Political Theory and Legal System in Modern Society, USA: Berg Piblisher, 1986
- Harian Fajar, edisi 14 januari 2012
- Irvan Mawardi. “ pemilu dalam Cengkeraman Oligarki: fenomena kegagalan demokrasi procedural”. Pukap. Makassar. 2011.
- Joko J. Prihatmoko; Mendemokratiskan Pemilu; dari system sampai elemen teknis; Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2008.
- Juniarso Ridwan & Achmad Sodik S, “ Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Publik”. Nuansa. Bandung. 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar