Senin, 17 Juni 2013

Sistem Hukum Indonesia




BAB I

PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Dinamika perkembangan hukum dan demokrasi di Indonesia dewasa ini belum menunjukkan ketidakkonsistenan sehingga memicu kekecewaan sebagian masyarakat. Di satu sisi, perkembangan semangat berdemokrasi di setiap bidang sudah mulai tumbuh. Hal ini dapat terlihat dari gejala-gejala yang menjadi prasyarat sebuah negara demokrasi, seperti kebebasan menyatakan penadapat, kemerdekaan berserikat, adanya pemilihan langsung, adanya terbosan otonomi daerah, kebebasan pers dan lainnya.
Namun di sisi lain, perkembangan hukum sebagai bagian atau pilar penting dari demokratisasi belum menjadi sebuah nilai (value) yang terintegral dengan perkembangan demokrasi. Kepuasan terhadap perkembangan berdemokrasi tidak berbanding lurus dengan perkembangan hukum baik yang tumbuh di masyarakat maupun perkembangan hukum formil yang menjadi pilar proses penegakan hukum.
Tertinggalnya hukum dalam proses berdemokrasi menjadi sebuah ironi mengingat konstruksi hukum bernegara kita yang secara ideologis tercantum dalam konstitusi UUD 1945 menunjukkan bahwa

 Hukum dan Demokrasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 berbunyi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ayat 3 berbunyi: Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Frasa “kedaulatan rakyat” menunjukkan bahwa  sumber kedaulatan tertinggi dari negara ini adalah rakyat, namun kedaulatan harus tunduk pada Undang-Undang Dasar karena negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (Machstaat). Visi bangsa ini sudah cukup Nampak pada kalimat yang ada di Pasal 1 ayat 2 dan  3 UUD 1945 tersebut bahwa negara kita meskipun melandasakan pada prinsip demokrasi dengan kedaulatan rakyat sebagai sumber utama, namun kedaulatan itu harus dikelola dan dikontrol  secara baik lewat mekanisme hukum.
Secara historis filosofis, pertautan antara hukum dan demokrasi dalam sebuah negara dapat dilacak dari asal muasal lahirnya negara. Bagi Thomas Hobbes, negara merupakan representasi adanya Kontrak Perjanjian antara rakyat dan penguasa. Agar tidak terjadi penyimpangan dan tirani dalam proses perjanjian tersebut maka diperlukan aturan atau hukum untuk menjaganya. Hukum dan kemudian termanifestasi sebagai organized public inilah yang kemudian hari menjadi organ yang disebut negara. Negara adalah wajah lain dari perwujudan hukum untuk mengatur antara rakyat dan yang berkuasa. Dalam pandangan Hobbes, jika tidak ada hukum, maka demi kepentingan diri, antara manusia akan terlibat dalam war of all against all (perang semua melawan semua). Tanpa hukum yang ditegakkan oleh penguasa kuat, maka individu-individu akan saling membinasakan (homo homini lupus).
Jean Bodin memberi penegasan dalam konteks Penguasa Kuat. Bodin melihat hukum sebagai perintah raja dan perintah ini menjadi aturan umum yang berlaku bagi rakyat dan persoalan umum. Semua tradisi dan hukum kebiasaan hanya akan menjadi absah dengan adanya erintah pemegang kedaulatan yang menetapkannya dalam hal ini negara atau Raja. Bagi Bodin, kekuasaan raja adalah kekuasaan tertinggi atas warga dan rakyat. Karena pemikirannya inilah, Jean Bodin kemudian dikenal sebagai peletak dasar Kedaulatan Negara. Negara yang memiliki kekuasaan tertinggi itu menghendaki penataan mutlak bagi semua warga negara[1].  Namun untuk menghindari determinasi negara yang berlebihan, Rousseau menghadirkan pemikiran untuk menempatkan rakyat sebagai poros utama hadirnya hukum. Jadi hukum tidak sekedar perintah bagi penguasa sebagai Bodin, tapi Rousseau menitikberatkan pada pemikiran bahwa hukum itu lahir untuk mengabdi kepada rakyat karena hukum adalah wujud kemauan dan kepentingan umum yang hidup teratur dalam system politik negara (volunte generale).  Bukan pula kemauan dan kepentingan orang-orang yang hidup dalam segerombolan yang tidak teratur ( volonte de tous) dan yang pasti bukan kemauan dan kepentingan orang per orang (volonte varticuliere)[2]. Rousseau termasuk pemikir hukum yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai sumber dan pilar utama hukum yang juga identic dengan semangat demokrasi. Dengan demikian kontruksi pemikiran Hobbes, Bodin dan Rousseau menunjukkan bahwa pertautan antara negara hukum dan demokrasi menjadi penting dalam sebuah tatanan bernegara.
Dalam konteks keindonesiaan sebagaiman disebut di atas bahwa karakter dan visi negara ini sudah tergambar sebagai negara hukum. Karakter negara hukum yang identic dengan demokrasi sebagaimana dalam konstitusi oleh beberapa ahli hukum menyebut type negara hukum Indonesia sebagai negara hukum demokrasi.
Salah satu praktek pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam bingkai demokratisasi adalah terselanggaranya Pemilihan Umum secara regular dengan prinisip yang bebas, langsung, umum dan rahasia. Pemilu meruapakan mandat dari dari konstitusi yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal inimemastikan dan melindungi pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menyalurkan hak-hak politiknya dalam pemilihan umum. Pemilu sebagai salah satu praktek berlangsungnya kekuasaan dan pemerintahan secara regular harus berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan dan nilai-nilai kemanfaatan.
Salah satu prinsip dasar dari Negara hukum demokratis adalah adanya jaminan yang berkeadilan bagi rakyat dalam mengekspresikan kedaulatannya.  Pemilihan Umum adalah salah satu elemen penting dalam Negara demokratis yang menjadi media bagi rakyat dalam menyalurkan aspirasinya sekaligus ruang untuk mengelola kedaulatan rakyat. Pemilu tidak sekedar memberi kesempatan bagi rakyat untuk memilih, namun juga untuk dipilih. Pemilihan umum senantiasa menjadi indicator kualitas demokrasi sebuah bangsa. Apabila pemilu mampu dilaksanakana secara transparan, akuntabel dan partispatif, maka hal tersebut menunjukkan proses demokratisasi berlangsung secara positif (on the track). Sebaliknya Pemilu yang dilaksanakan sekedar memenuhi proseduralism demokrasi namun tidak dilaksanakan secara transparan, akuntabel dan egaliter, maka hal itu menunjukkan bahwa kualitas demokrasi masih cukup rendah. Oleh karena itu, karena pemilu merupakan media bagi rakyat untuk melaksanakan kedaulatannya, maka pemilu harus mencerminkan kehendak rakyat sebagai dasar pembentukan pemerintah. Melalui pemilu, pemerintah mendapat legitimasi untuk mengelola pemerintahan, sehingga salah satu fungsi dari pemilu adalah menjadi sarana legitimasi. Pemilu sebagai sarana legitimasi politik dengan alasan: pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya bisa memperbaharui kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warganya. Ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan untuk mempertahankan legitimasi.[3]
Dalam konteks Indonesia,  Amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang dilakukan secara gradual di masa awal reformasi menghasilkan reformasi politik yang cukup signifikan. Salah satu yang cukup urgen dan radikal dalam amandemen UUD 1945 adalah diaturnya mekanisme Pemilihan Langsung untuk pemilihan Presiden dan Wakil presiden serta untuk pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis. Perubahan kedua UUD 1945 pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Penggunaan kata dipilih secara demokratis tersebut bersifat luwes dan memiliki dua makna yaitu baik pemilihan langsung maupun tidak langsung melalui DPRD kedua-duanya demokratis. Untuk itu  keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam proses menetapkan Kepala Daerah dipilih secara demokratis dapat digali secara mendalam melalui risalah sidang Panitia Ad Hoc I badan pekerja MPR RI. [4] Kata “demokratis” kemudian oleh pembuat undang-undang  No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah  diterjemahkan menjadi Pemilihan Langsung. Sehingga rakyat Indonesia sejak pemilu 2004 telah memilih langsung kepala eksekutif, dalam hal ini presiden/wakil Presiden serta Kepala daerah dan wakail kepala daerah.
Setelah berlangsung kurang lebih 6 (enam) tahun, keberadaan pemilukada belum memberikan optimisme yang kuat akan adanya keniscayaan demokratisasi yang sehat dan beradab dalam pelaksanaan pemilukada. Hampir setiap pelaksanaan pemilukada senantiasa disertai dengan sengketa dan konflik. Dalam konteks Negara hukum, penyelesaian konflik dan sengketa di pemilukada masih jauh dari praktek kenegaraan yang berdasarkan hukum. Artinya, penegakan hukum dalam pemilukada masih cukup rendah sehingga konflik dan sengketa mudah terjadi dan terus berlangsung. Di Pemilukada kabupaten  Puncak Jayapura telah menelan korban tewas sekitar 49 jiwa akibat konflik yang melibatkan dua calon pasangan yang akan berkompetisi di pemilukada Kabupaten Puncak Papua. Konflik ini sudah berlangsung sejak Juli 2011[5]. Pada konflik seperti ini, hukum tidak lagi dipandang sebagai sarana untuk mendukung lahirnya keteraturan dan ketertiban
Dalam perspektif sosiologi hukum, secara umum penegakan hukum dalam pemilu dan pemilukada masih cukup lemah. Hukum tentang pemilukada belum terlembagakan secara baik, sehingga proses penyelesaian pelanggaran dan penyimpangan tidak dapat dikelola secara elegan tapi justru memicu konflik berkepanjangan. Ada beberapa faktor fundamental yang menghambat proses pelembagaan hukum dalam penyelesaian perkara hukum pemilukada selama ini[6]; Pertama, masih cukup rendahnya pemahaman masyarakat tentang mekanisme hukum yang harus ditempuh ketika berhadapan dengan persoalan yang terkait dengan penyimpangan dan pelanggaran selama berlangsung pemilukada. Kedua, institusi penegak hukum dalam Pilkada, dalam hal ini Bawaslu dan Panwaslu tidak bisa bekerja maksimal karena secara yuridis eksistensi lembaga tersebut memang tidak memiliki kewenangan yang kuat. Kelemahan panwaslu selama ini terletak pada ketidakmampuan menindaklanjuti pelanggaran yang dilaporkan masyarakat. Terlihat bahwa panwaslu tidak memiliki daya eksekusi yang kuat dalam menangani laporan pelanggaran. Ketiga, pelembagaan hukum dalam pemilukada juga gagal karena secara substansi UU. 32 tahun 2004 – maupun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah – tidak secara jelas mengatur proses hukum, – baik materi maupun formil- yang bisa ditempuh ketika berhadapan dengan pelanggaran atau persoalan hukum dalam pemilukada. Misalnya dalam persoalan Penetapan Pasangan Calon. UU. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah Pasal 61 yang mengatur penetapan pasangan calon kepala daerah, tidak mengatur mekanisme hukum apabila ada pasangan yang keberatan tentang keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon. Begitu juga dengan tahapan lainnya. Karena tidak jelasnya mekanisme hukum yang mengatur , maka formula penyelesaian sering berakhir kepada bentrokan dan anarkhisme seperti yang terjadi   di Pemilukada Mojokerto Jawa Timur pada tahun 2010 yang lalu.
Fenomena pelaksanaan Pemilukada sebagai bentuk pelaksanaan negara demokratis belum sepenuhnya menghadirkan optimisme terhadap pelembagaan nilai- nilai hukum dan nilai demokrasi. Hadirnya prinsip hukum dan demokrasi dalam pelaksanaan pemilukada menjadi penting untuk menunjukkan bahwa pemilukada tidak sekedar proseduralisme demokrasi yang miskin substansi hukum, sehingga perlu dikaji sejauhmana prinsip-prinsip negara hukum demokrasi tersemai dalam pelaksanaan pemilukada.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1.apakah demokrasi itu ?
1.2.2.apakah penngertian hukum itu ?
1.2.3. Sejauhmana implementasi  prinsip-prinsip negara hukum dalam demokrasi?
  






1.3  Tujuan

·         Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi dosen pembimbing dalam penilainan mata kuliah sistem hukum indonesia
·         Dan  bahan pembelajaran bagi mahasiswa dan mahasiswi maupun semua instansi untuk memperluas wawasan.
·         Sebagai bahan pertimbangan bagaimana implementasi hukum dalam kehidupan demokrasi
·         Sebagai pengkajian hukum dalam kontek demokrasi
·         Mahasiswa   memahami prinsip-prinsip demokrasi, hukum dan hak asasi manusia
·         Mahasiswa dapat berperilaku demokratis, menjunjung tegaknya hukum di indonesia















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pembahasan
  2.1.1. Demokrasi
 Demokrasi dan Prilaku Demokrasi Negara kita adalah negara demokrasi, negara yang kehidupannya ditentukan oleh rakyat. Demokrasi merupakan konsep yang abstrak dan universal. Demokrasi itu telah diterapkan di banyak negara dalam berbagai bentuk, sehingga melahirkan berbagai sebutan tentang demokrasi seperti demokrasi konstitusional, demokrasi rakyat, demokrasi terpimpin, demokrasi liberal dsb. Namun demikian pada dasarnya demokrasi itu dapat dibedakan atas dua aliran yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi yang mendasarkan dirinya pada ajaran komunisme (Budiardjo, 1977: 55). Secara umum demokrasi diartikan pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka  pilih  di  bawah  sistem   pemilihan   bebas      (Ravietch, 1991: 4). Demokrasi yang banyak dipraktekkan sekarang ini adalah demokrasi konstitusional dimana ciri khasnya adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan- pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi (Budiardjo, 1977: 52) atau dalam peraturan perundangan lainnya. Demokrasi konstitusional ini sering juga disebut dengan demokrasi di bawah rule of law. Menurut Prof. Miriam Budiardjo (1977) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah : a. perlindungan konstitusional; b. badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; c. pemilihan umum yang bebas;  80 d. kebebasan untuk menyatakan pendapat; e. kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi; dan f. pendidikan kewarganegaraan.  Hal di atas berarti demokratis tidaknya suatu negara, ditentukan oleh tingkat kesempurnaan konstitusi atau aturan- aturan negara dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Begitu juga dengan tingkat jaminan perundang- undangan yang diberikan terhadap badan kehakiman sehingga tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, berorgani-sasi dan oposisi serta pendidikan kewarganegaraan. Hendri B. Mayo dalam Budiardjo (1977: 62) mengemukakan bebarapa nilai yang mendasari demokrasi seperti berikut: a. menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga; b. menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah; c. menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur; d. membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum; e. mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku; dan f. menjamin tegaknya keadilan.  Selanjutnya menurut B. Mayo perincian itu tidak berarti bahwa setiap masyarakat demokratis menganut semua nilai yang diperinci itu, melainkan bergantung kepada sejarah serta budaya politik masing-masing. Dalam bukunya Apa Demokrasi itu? Diane Ravitch (1991: 6) mengemukakan soko guru demokrasi sebagai berikut: a. kedaulatan rakyat; b. pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; c. kekuasaan mayoritas; d. hak-hak minoritas; e. jaminan hak asasi manusia; f. pemilihan yang bebas dan jujur; g. persamaan di depan hukum;  81 h. proses hukum yang wajar; i. pembatasan pemerintah secara konstitusional; j. pluralisme sosial, ekonomi dan politik; dan  k. nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat.  Pendapat Miriam Budiardjo pada hakekatnya tidak berbeda dengan soko gurunya demokrasi yang dikemukakan Diane Ravitch, perbedaan hanya terletak dalam perumusan. Demokrasi tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan, tetapi juga suatu gaya hidup serta tata masyarakat tertentu, yang karenanya juga mengandung unsur- unsur moral. Pengertian yang terakhir ini semakin berkembang sehingga demokrasi itu bukan hanya tertuju pada aspek pemerintahan dalam negara tetapi sudah menyangkut dengan tata kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek seperti ekonomi, pendidikan, pengajaran, organisasi, dsb. Organisasi mahasiswa sebagai Student Government, dalam alam demokrasi juga harus mengindahkan soko guru atau nilai-nilai demokrasi di atas. Begitu juga dalam pendidikan bahkan dalam pembelajaran di kelaspun dituntut demokratis. Pengambilan keputusan dalam alam demokrasi dilakukan dengan musyawarah, mufakat atau dengan suara terbanyak. Dalam musyawarah setiap anggota harus memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat baik secara lisan ataupun tertulis. Kebebasan berbicara dan berpendapat adalah darah hidup setiap demokrasi (Ravitch, 1989: 9). Selanjutnya dikatakan oleh Ravitch (1989:9) warga suatu demokrasi hidup dengan keyakinan bahwa melalui pertukaran gagasan dan pendapat yang terbuka, kebenaran pada akhirnya akan menang atas kepalsuan, nilai-nilai orang lain akan lebih dipahami, bidang- bidang mufakat akan dirinci lebih jelas dan jalan kearah kemajuan terbuka. Inilah sebagian yang hendak dicapai dalam pembelajaran di sekolah yaitu ditemukannya kebenaran terutama kebenaran ilmiah, nilai-nilai yang dianut oleh orang lain dapat dipahami, serta terjalinnya saling menghormati dan kerjasama. Setelah musyawarah dilaksanakan, pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan mufakat suara bulat (musyawarah mufakat) atau dengan pemungutan suara terbanyak (voting). Prinsip utama dalam pengambilan keputusan ini adalah bahwa keputusan harus ditentukan oleh mayoritas  82 anggota tanpa mengabaikan kepentingan minoritas (Ravitch, 1989: 6). Setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah atau voting harus didukung oleh kelompok yang semula tidak setuju atau yang kalah dalam voting. Dalam budaya politik masyarakat Indonesia baik pada tataran pemerintahan terendah maupun pada pemerintahan tertinggi (pusat), prinsip demokrasi yang selalu dipakai adalah musyawarah untuk mufakat dalam kekeluargaan (Sihombing, 1984:12). Nilai kerjasama, toleransi dan saling menghargai merupakan soko guru dalam demokrasi seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Nilai-nilai ini akan terlihat dalam penyusunan dan pelaksanaan program kerja dari suatu organisasi, dalam prilaku kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga, sekolah ataupun dalam masyarakat. Pelaksana-an dari nilai-nilai ini akan melahirkan program kerja yang aspiratif bukan kemauan seseorang. Biasanya program kerja yang aspiratif ini akan didukung oleh semua anggota dalam pelaksanaannya. Pragmatisme memperlihatkan bahwa penyusunan dan pelaksanaan program bermanfaat bagi seluruh anggota. Jadi bukan dalam alam idealis semata atau kemauan sekelompok orang.  Konsep partisipasi merupakan hal penting dalam demokrasi. Sebagaimana dikatakan Ravitch (1989: 11) inti tindakan demokrasi adalah partisipasi aktif pilihan warga sendiri dalam kehidupan umum masyarakat dan bangsa mereka. Berkaitan dengan ini ada ungkapan mantan Presiden Amerika Serikat yang mengatakan “ jangan tanya apa yang diberikan negara kepada anda, tetapi tanyalah diri  anda, apa yang telah anda perbuat untuk negara”. Ungkapan itu dapat diterjemahkan kedalam kehidupan keluarga, sekolah dan masyarakat. Tanyalah lebih dulu apa yang telah anda perbuat untuk keluarga, sekolah, atau masyarakat sebelum anda mempertanyakan apa yang diberikan keluarga, sekolah, atau masyarakat kepada anda. Penerapan prinsip demokrasi di Indonesia disesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang sangat banyak itu disederhanakan dengan mengambil yang universalnya. Inilah yang disebut dengan nilai-nilai Pancasila. Menurut Sihombing (1984: 9) untuk mendapatkan pengertian demokrasi Pancasila secara lengkap dan utuh diperlukan 2 alat pengukur yang saling  83 melengkapi, yaitu: 1) alat pengukur yang konsepsionil, dan 2) alat pengukur tingkah laku (kebudayaan). Dari alat pengukur pertama dapat diambil pengertian bahwa demokrasi Pancasila adalah kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila Pancasila lainnya, artinya dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, mampu mempersatukan bangsa serta dimanfaatkan untuk meujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengertian semacam ini lebih bersifat formalistik dan diatur dalam UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya. Alat pengukur kedua bersifat kebudayaan yaitu berupa tingkah laku   yang bersumber dari kebudayaan  bangsa Indonesia. Pengertian demokrasi melalui alat pengukur kedua ini melengkapi pengertian melalui alat pengukur pertama, karena memberikan struktur informal terhadap demokrasi Pancasila. Kearifan dan bijaksana dalam tingkah laku merupakan kekhasan dalam demokrasi Pancasila. Pelaksanaan prinsip demokrasi sebetulnya menyangkut dengan prilaku manusia, baik secara individual maupun secara kelompok, dalam kedudukannya sebagai warga ataupun sebagai pejabat yang diberi kewenangan. Prilaku adalah manifestasi dari kebudayaan sebab kebudayaan terujud dan disalurkan melalui prilaku manusia. Proses pembudayaan berlangsung sepanjang kehidupan manusia dalam lingkungannya, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan bermain, lingkungan sekolah sampai kepada lingkungan masyarakat yang lebih luas. Nilai-nilai yang berkembang dalam lingkungan masyarkat itulah yang mempengaruhi prilakunya dalam kehidupan. Nilai-nilai itu beraneka ragam termasuk di dalamnya nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi itulah yang membentuk prilaku demokratiknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku demokrasi beraneka ragam, diantaranya adalah  kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara dan kepercayaan kepada pemerintah. Selain dari itu faktor-faktor lainnya adalah status sosial, status ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman berorganisasi (Surbakti, 1992: 144). Disamping itu pengetahuan  84 tentang demokrasi juga mempengaruhi prilaku demokrasi. Demokrasi bergantung pada warga negara yang berpendidikan dan berpengetahuan (Ravitch, 1989: 9). Bila kita ingin mewujudkan masyarakat yang demokratis tingkatkanlah pendidikan dan pengetahuan serta berprilakulah sesuai dengan nilai-nilai demokrasi seperti yang diungkapkan di atas. Suatu hal yang sangat penting dalam mewujudkan demokrasi adalah taat akan nilai dan aturan-aturan hukum yang telah disepakati, karena nilai dan aturan hukum itulah yang membingkai demokrasi.

       2.1.2 Hukum

Pertanyaan pertama yang sering dikemukakan orang dalam memahami hukum adalah apa itu hukum? Jawabannya bermacam-macam, ada yang mengatakan hukum itu ada di kantor polisi, di kejaksaan dan pengadilan. Bagi orang awam jawaban  semacam ini wajar-wajar saja sesuai dengan pengetahuannya. Jika ditanya kepada pemuka adat, hukum itu ada dalam adat seperti dalam pepatah adat nan tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan. Para ulama akan mengatakan hukum itu adalah ketentuan-ketentuan yang datang dari Allah SWT. yang mengatur  kehidupan manusia. Jika ditanya kepada ahlinya jawabannya juga sulit, tak obahnya seperti menanyakan apa itu waktu. Para sarjana hukum sebetulnya masih berbeda pendapat dalam merumuskan suatu definisi hukum yang dapat memuaskan semua pihak. Namun demikian salah satu batasan yang banyak dipahami adalah seperti yang dikemukakan oleh seorang sarjana hukum yang bernama E. Utrecht, menurutnya hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. Hukum itu menentukan/ mengatur tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat dan bersifat memaksa. (E.Utrecht, 1956 : 10)  Seseorang yang melanggar aturan hukum akan dikenakan sanksi dan dapat dipaksakan kepadanya. Tujuannya adalah agar terjaminnya keamanan, ketertiban, ketentraman dan keadilan bagi setiap orang dalam masyarakat, termasuk masyarakat kampus. Ketertiban dapat diwujudkan karena hukum berupaya menetapkan “kepastian” tingkah laku manusia, baik  85 yang berupa perintah maupun larangan, perintah dan larangan itu ditegakkan dengan sanksi yang “tegas” dan “nyata” dari negara. Ketentraman yang diharapkan bukan bersifat sementara atau semu tetapi sedapat mungkin bersifat abadi dan diterima dengan “tulus” oleh masyarakat. Penerimaan yang tulus dari masyarakat baru akan terjadi seandainya hukum itu sesuai dengan perasaan keadilan yang tersimpan dalam lubuk hati mereka. Hukum yang semata-mata hanya mengabaikan aspek keadilan dan kurang memperhatikan rasa keadilan masyarakat, pada suatu saat akan menimbulkan tantangan dari masyarakat, seperti pandangan masyarakat terhadap kasus-kasus hukum yang di proses di pengadilan. Sebaliknya harus pula dipahami, bukan berarti setiap orang yang berstatus terdakwa (dalam perkara pidana) harus langsung  dimasukkan ke dalam penjara/lembaga pemasyarakatan. Seseorang yang  dihukum menjadi terpidana, ia masih mempunyai upaya hukum berupa banding (dari pengadilan negeri ke pengadilan tinggi), kasasi dan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Dalam negara hukum ada suatu asas yang perlu diingat, bahwa seseorang dianggap tidak bersalah (presumption of innocence) sebelum adanya keputusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Apabila upaya hukum itu sudah dilalui dan hakim Mahkamah Agung sudah menetapkan keputusannya (menghukum atau membebaskan) maka tertutuplah upaya hukum untuk mencari keadilan dan putusan hakim harus dilaksanakan. Hukum diciptakan adalah sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban) agar masing-masing subjek hukum tersebut dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar. Dengan demikian tujuan hukum adalah untuk mengatur masyarakat secara damai dengan cara melindungi kepentingan-kepentingan manusia seperti kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya.     Bentuk aturan hukum itu bermacam-macam baik jenis ataupun tingkatannya. Secara umum dibedakan atas hukum publik dan hukum privat. Hukum publik adalah aturan hukum  86 yang mengatur hubungan hukum antara negara dan warganya (hubungan vertical) atau sebaliknya. Pelanggaran aturan hukum itu pada dasarnya akan diproses dan dikenakan sanksi oleh negara, walaupun para pihak yang terlibat atas pelanggaran hukum itu sepakat untuk berdamai. Hukum yang termasuk kategori ini diantaranya adalah aturan hukum pidana, hukum tata negara, hukum pajak, hukum administrasi negara. Contoh pelanggaran aturan hukum pidana seperti: mencuri, korupsi, merusak harta/kepunyaan orang lain atau negara, menyiksa orang lain, membunuh, memperkosa, mencemarkan nama baik orang lain, penyalahgunaan obat terlarang atau narkoba yang dapat diancam dengan hukuman mati, dan sebagainya. Sedangkan hukum privat adalah aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang/ kelompok orang dengan orang lain/ kelompok lain (hubungan horizontal). Pelanggaran aturan hukum ini penyelesaiannya tergantung kepada para pihak yang merasa dirugikan, apakah melalui perdamaian ataukah proses peradilan. Diantara yang termasuk kesini adalah aturan hukum perdata. Contohnya masalah sengketa harta, masalah jual beli, dan sebagainya. Untuk menegakkan aturan-aturan hukum di atas dibentuk lembaga-lembaga kekuasaan kehakiman. Sebelum adanya perubahan, UUD 1945 menentukan bahwa kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Melalui perubahan UUD 1945 dibentuk lagi suatu lembaga sebagai pelaku kekuasaan kehakiman selalin Mahkamah Agung yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki kewenangan (1) meguji undang-undang terhadap UUD ; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD ; (3) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum ; dan (4) memutus pembubaran partai politik. Selain itu, dibentuk Komisi Yudisial (KY) yang berfungsi sebagai lembaga penegak etika hakim. Komisi ini mempunyai wewenang dalam proses pemilihan hakim agung dan pengawasan hakim. Fungsi kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan melalui penyelenggara peradilan. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,  87 lingkungan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.     Tingkatan (hierarki) hukum dalam suatu negara juga tersusun sedemikian rupa, dimana ketentuan hukum yang lebih rendah lingkungan dan kekuatan berlakunya dibatasi oleh ketentuan hukum yang lebih tinggi. Di negara Indonesia jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebelumnya diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR No. III?MPR?2000. Dewasa ini diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU RI No. 10 tahun 2004 (tentang Pembentukan Perundang-undangan) sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah.  Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada huruf e tersebut meliputi: 1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur; 2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; 3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya (badan perwakilan nagari) bersama dengan kepala desa atau nama lainnya (wali nagari). Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang- undangan mengandung beberapa prinsip. Bagir Manan (2004:133) menyebutkan prinsip tersebut sebagai berikut : 1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi  peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya. 2. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.  88 3. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. 4. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut atau diganti atau diubah dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi atau paling tidak yang sederajat. 5. Peraturan-peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, maka peraturan yang terbaru harus diberlakukan. Implikasi tata urutan peraturan perundang-undangan di atas adalah bahwa setiap peraturan yang dibuat oleh setiap organisasi (termasuk Perguruan Tinggi) harus mempedomani prinsip di atas. Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi dan peraturan yang lebih rendah tersebut adalah menjabarkan aturan/ketentuan yang lebih tinggi. Contoh aturan hukum yang dikeluarkan oleh Dekan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang dikeluarkan oleh Rektor atau Menteri. Begitu juga aturan hukum yang dibuat oleh lembaga kemahasiswaan tidak boleh bertentangan dan harus sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh Rektor atau aturan yang lebih tinggi. Disamping itu untuk mentaati peraturan hukum itu sangat diperlukan adanya kesadaran hukum. Kesadaran hukum akan terwujud bila semua kita mempunyai komitmen yang tinggi untuk melaksanakan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dan bila hal ini terjadi terciptalah masyarakat yang aman, tertib dan sejahtera. Kesadaran hukum itu sebetulnya adalah suatu kesadaran yang ada di dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh dan taat pada hukum. Dalam simposium kesadaran hukum masyarakat (1975) yang dilaksanakan  Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ditegaskan bahwa kesadaran hukum itu antara lain meliputi (a) pengetahuan tentang hukum, (b) penghayatan terhadap hukum dan (c) ketaatan terhadap hukum. Ada suatu asumsi yang mengatakan bahwa semakin tinggi taraf kesadaran hukum seseorang akan semakin tinggi pula ketaatan dan kepatuhannya terhadap hukum. Dan sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum seseorang maka semakin kurang pula ketaatan dan kepatuhannya terhadap hukum.  89 Kesadaran hukum itu berpangkal pada adanya suatu pengetahuan tentang hukum yang mengatur hidup dan kehidupan. Dari pengetahuan tersebut akan lahir suatu pengakuan dan penghargaan terhadap ketentuan-ketentuan hukum, hal ini kemudian akan menimbulkan sikap penghayatan terhadap hukum tersebut. Apabila sikap ini sudah terwujud dengan sendirinya ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum akan terwujud pula. Kesadaran hukum masyarakat (termasuk masyarakat kampus) senantiasa berkembang, oleh sebab itu wajarlah bila senantiasa diperlukan pembinaan dan peningkatan kesadaran hukum melalui berbagai kesempatan dan kegiatan seperti dalam Pengenalan Kehidupan Kampus bagi mahasiswa baru. Penegakan hukum (law enforcement) sangat ditentukan oleh kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat, penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) dan terciptanya hukum yang baik. Ketiga komponen penegakan hukum itu harus bersinergi dan ditopang oleh faktor ketauladanan dari setiap pemimpin.      Kesalahan  kita selama ini lebih banyak disebabkan oleh rendahnya tingkat kesadaran hukum tersebut. Kita tahu adanya aturan, tetapi kita tidak mentaatinya. Oleh karena itu marilah kita mulai dari diri kita sendiri, kemudian lingkungan kita, keluarga, sampai kepada masyarakat yang lebih luas untuk mentaati peraturan-peraturan hukum  tersebut.  3. Hak Asasi Manusia Dalam undang-undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999, dijelaskan pengertian hak asasi manusia (HAM) seperti dalam pasal 1 ayat (1), hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Di samping hak asasi, dalam pasal 67 ditegaskan pula tentang kewajiban dasar manusia yaitu setiap orang yang ada di wilayah negara RI wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia. Di dalam perundang-undangan negara Indonesia semua jenis hak-hak asasi yang harus dilindungi termuat dalam  90 berbagai dokumen dan dokumen tersebut hanya dibedakan oleh jenis perundang-undangannya. Ketentuan tentang perlindungan hak-hak asasi termuat dalam Pembukaan UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang No.39 tahun l999 tentang HAM dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak sipil dan politik itu jelas termuat dalam peraturan perundang-undangan negara RI seperti: a. Pembukaan UUD 1945 pada semua alineanya mengandung jaminan hak asasi manusia seperti alinea pertama berkenaan dengan martabat manusia dan keadilan; alinea kedua hak asasi bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya; alinea ketiga hak asasi bidang sosial budaya dan politik; dan alinea ke empat hak asasi bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hankam (H.A.W. Widjaja, 2000 : 66). b. Undang Undang Dasar 1945. Batang tubuh atau isi UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan (amandemen) mengatur hak asasi manusia dalam 7 pasal antara lain adalah pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33 dan 34. Namun setelah UUK 1945 dilakukan perubahan (amandemen) maka ada bagian khusus tentang hak asasi manusia yaitu pada BAB XA dengan rincian sebagai berikut:  Pasal 28 A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28 B (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28 C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.  91 Pasal 28 D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. (4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Pasal 28 E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (3) Setiap orang berhak atas kebebasab berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28 F  Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28 G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atas perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Pasal 28 H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggl, dan mendapatkan lingkungan hidup  92 yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Pasal 28 I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban (4) Perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 28 J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang dijalankan  93 Dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan pemenuhan terhadap kewajiban asasi manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, bernegara.  c. Ketetapan MPR No. XVII\MPR\1998 tentang Hak Asasi Manusia. Ketetapan    MPR tersebut terdiri dari 10 bab dan meliputi 44 pasal. d. Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan tindak lanjut dari Tap. MPR No  XVII/MPR/1998 e. Peraturan perundang-undangan lainnya yang melindungi Hak Asasi Manusia. Misalnya KUHP, KUHAP dan sebagainya.

2.1.3.Implementasi Hukum Dalam Demokrasi
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada atau pemilukada, adalah pemilihan umumuntuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten Walikota dan wakil walikota untuk kota. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum dimasukkan dalam rezim pemilihan umum  (pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama “pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah” atau “Pemilukada”. Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik local
Secara umum pengaturan Pemilukada berdasarkan Pasal 22E jo Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, PP No. No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah., PP No. 17 Tahun 2005 tentang Perubahan atas PP No. 6 Tahun 2005. Pada periode pertama yakni tahun 2005-2008 sebanyak 473 daerah yang telah menyelenggarakan pilkada atau 118 pilkada pertahun atau dua pilkada seminggu, sehingga seolah-olah “tiada hari tanpa pilkada”, sehingga meningkatkan suhu politik di tanah air sepanjang tahun[7].  Namun di
Implementasi prinisip-prinsip negara hukum dan demokrasi dalam pelaksanaan pemilukada dapat dimulai dengan parameter nilai hukum dan demokrasi dalam sebuah negara (konstitusi). Seperti disinggung di awal bahwa prinsip negara hukum tidak bisa dilepaskan dari prinsip demokrasi. Beberapa literature dan pendapat pakar hukum berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada ruang yang bisa memberi celah berpisahnya konsep Negara hukum dan demokratisasi. Sehingga konsep Negara hukum selalu identic dengan demokratisasi. Para ahli hukum pasca abad 21 lebih cenderung menggunakan istilah Negara hukum yang demokratis. Alasannya sederhana bahwa hukum ketika menjadi instrument Negara dalam menata kekuasaan tidak bisa bekerja tanpa prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, persamaan hak, partisipasi, akuntabilitas. Sebaliknya praktek demokrasi yang mengedepankan kesetaraan, keterbukaan, partisipasi akan mengalamai euphoria tak terbatas dan melahirkan liberalism demokrasi apabila tanpa disertai oleh tatanan hukum yang beradab.
Konsep Negara hukum memiliki akar historis dalam memperjuangkan nilai-nilai demokratis[8]. Konsepsi tentang Negara hukum secara garis besar terdiri dari 2 konsep, yakni aliran the rule of law[9] dan rechstaat.  Istilah rechstaat mulai popular di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran itu sudah lama adanya. Sedangkan istilah the rule of law mulai popular dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul, “Introduction to the study of the law of the constitution”. Menurut Hadjon, meskipun kedua konsep tersebut berbeda namun dewasa ini perbedaan itu tidak dipermasalahkan lagi karena kedua konsep itu mengarahkan dirinya pada satu sasaran utama yaitu, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia[10].
Rechstaat adalah konsep Negara hukum yang  mendekati  konsep demokrasi. Menurut catatan Padmo Wahjono, sejalan dengan perkembangan teori ketatanegaraan konsep rechstaat sering dikaitkan dengan pengertian demokratis[11]. Atas dasar demokratis, rechstaat dikatakan sebagai “Negara kepercayaan timbal balik” (de staat van het weder zidjs vertrouwen) yaitu kepercayaan dari rakyat pendukungnya bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan dan kepercayaan dari penguasa bahwa dalam batas kekuasaannya dia mengharapkan kepatuhan dari rakyat pendukungnya[12]. Karena Negara hukum identik dengan indicator-indikator demokratisasi, maka konsep Pemilukada dalam    konteks Negara hukum secara substansi memiliki kandungan dengan asas-asas demokrasi.
Dalam konsep rechstaat misalnya asas-asas demokratis yang melandasi rechstaat menurut S.W. Couwenberg meliputi 5 asas[13], yaitu asas hak-hak politik (het beginsel dan de politieke grondrechten), asas mayoritas, asas perwakilan, asas pertanggung jawaban dan asas public (openbaarheidbeginsel). Asas pertanggungjawaban Negara atas warga Negara selaras dengan prasyarat Negara hukum rechstaat menurut Stahl, yakni apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang pemerintah masih melanggar hak asasi karena campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang, maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikan[14].
Konsep pemilukada sejatinya bagian yang menyatu dengan prinsip negara hukum. Setidaknya hal ini tergambar dari gagasan Scheltema sebaimanan yang dikemukakan Arif Sidharta Menurut Arief Sidharta[15], Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsur unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) di antaranya; Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan. Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu: a. Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara berkala; b. Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh badan perwakilan rakyat; c. Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah; d. Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak; e. Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat; f. Kebebasan pers dan lalu lintas informasi; g. Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif.
Namun konsep teoritik sebagaimana digagas para pakar tersebut di atas secara dassein belum menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilukada selama ini sudah sepenuhnya memenuhi indicator negara hukum demokrasi. Dalam konteks formil pelaksanaan, pemilukada sudah memenuhi semangat atau nilai negara hukum demokrasi yakni adanya kepastian hukum atau “dukungan “yuridis dalam ketentuan UU Pemilukada sebagaimana tersebut di atas. Namun secara substansi,  prasyarat negara hukum demokrasi yang meliputi aspek asas hak-hak politik (het beginsel dan de politieke grondrechten), asas mayoritas, asas perwakilan, asas pertanggung jawaban dan asas public (openbaarheidbeginsel).
Dalam konteks hak-hak politik misalnya, meskipun UU No 32 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No 12 tahun 2008 tentang Pemilukada yang pada pokoknya mengatur pencalonan calon Bupati dan calon wakil bupati Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah  pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan perseorangan namun mekanisme hukum ini belum sepenuhnya memberikan hak-hak politik yang sebenarnya. Hal itu terjadi karena pada prakteknya Pertama, dalam pencalonan yang melalui parpol berlangsung secara oligarkhis, yakni hanya pemilihan bakal calon menjadi calon oleh parpol hanya diukur oleh factor uang dan kedekatan dengan petingggi parpol. Kedua, kesempatan lewat jalur perseorangan juga belum sepenuhnya menjamin hak-hak politik setipa orang bisa maju sebagai calon karena biaya pencalonan juga cukup mahal akibat kultur  pemilih masih berorientasi pada persoalan finansial.
Asas mayoritas dan asas perwakilan juga sering terabaikan dalam mekanisme pelaksanaan pemilukada. Menurut Aural Croissant, salah satu fungsi pemilu dalam konteks perwakilan adalah kelompok-kelompok masyarakat memiliki perwakilan ditinjau dari aspek geografis, fungsional dan deskriptif.[16] UU pemilukada belum menjamin sepenuhnya pelaksanaan pemilukada yang mampu meminimalisir golongan yang tidak memilih sebab UU tidak mengatur secara sistemik mekanisme menjangkau pemilih yang jauh dari TPS, atau pemilih yang sedang sibuk bekerja dan factor lain yang dapat memicu tingginya angka partisipasi pemilih sehingga pelaksanaan pemilukada mampu merepresentasikan suara rakyat yang sesungguhnya. Ketika partisipasi rendah, maka UU Pemilukada akhirnya gagal memenuhi asas mayoritas yang bertujuan untuk menjamin stabilitas pemerintah dan kemampuannya untuk memerintah. Sehingga susbtansi asas perwakilan memiliki hubungan erat dengan asas mayoritas dalam pelaksanaan pemilukada
UU No 32 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No 12 tahun 2008 juga tidak sepenuhnya menjamin terpenuhinya asas negara hukum demokrasi yakni asas pertanggung jawaban dan asas public (openbaarheidbeginsel).. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya integrasi system dalam UU Pemilukada berupa proses pemilihan yang menyatu dengan hasil pemilihan. Sederhananya, sebuah proses pemilihan pemilukada dapat dinilai berkualitas apabila memperoleh hasil yang berkualitas, dalam hal ini pemimpin yang berkualitas. Artinya, ada mekanisme kontrol terhadap pemimpin yang terpilih dari hasil pilkada sebagai bagian pertangggung jawaban public dan memenuhi asas public. Apabila UU Pemilukada tidak mengatur soal mekanisme hukuman terhadap pemimpin yang bermasalah, maka kualitas pemilukada tidak memenuhi prinsip negara hukum demokratis. Akibatnya banyak kepala daerah yang menjadi tersangka setelah terpilih.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek,   menuturkan, selama periode 2004-2012 sudah 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah mendapat vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana[17]. Secara keseluruhan, di Indonesia terdapat 495 kabupaten/kota dan 33 provinsi. Jumlah 173 kepala daerah ini menunjukkan sepertiga daerah di Indonesia dikelola mereka yang bermasalah dengan hukum. Kegagalan pemenuhan prinsip negara hukum khususnya dalam memenuhi asas pertanggungjawaban public semakin jelas ketika UU Pemilukada tidak  mengatur mekanisme yang bisa mencegah kepala daerah tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Perlu disadari bahwa pemilukada tidak dengan sendirinya menjamin (taken for granted) peningkatan kualitas negara hukum dan demokrasi tanpa melakukan evaluasi dan perbaik terhadap mekanisme dan system pemilukada tersebut. Dalam konteks pemilukada sebagai sebuah pelaksanaan negara hukum, maka seluruh pelaksanaan pemilukada harus dimaknai juga sebagai bagian dari penguatan sebuah system hukum. Pembentukan system hukum telah banyak diurai beberapa pakar hukum, diantaranya  Lawrence M.Friedman. Menurut Friedman,  Sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1) Struktur; (2) Substansi; (3) Kultur Hukum[18]
Berdasarkan pendapat tersebut, jika kita berbicara tentang sistem hukum, maka ketiga unsur tersebut secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri, tidak mungkin kita kesampingkan. Struktur adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi mencakupi: kepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya; kantor-kantor pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan para hakimnya. Substansi adalah keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat. Dalam konteks pembenahan system hukum Pemilukada, mengutip gagasan Friedmen maka harus juga dibenahi secara konprehensif yang meliputi Struktur, Substansi dan Kultur yang terkait dengan pelaksanaan pemilukada.
Struktur pemilukada meliputi Penyelenggara yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum, Peserta Pemilukada yang terdiri dari Partai Politik atau Calon Perseorangan dan Masyarakat sebagai Pemilih. Selain itu dalam konteks penegakan hukum pemilu, juga meliputi pihak Kepolisian, Kejaksaaan dan Hakim di Pengadilan. Di level Penyelenggara, permasalahan yang muncul selama ini adalah isu tentang ketidakmandirian dan ketidaknetralan penyelenggara serta rendahnya kapasitas dan akuntabilitas penyelenggara pemilu. Dengan demikian perbaikan system dalam hal ini meliputi adanya penegasan komitmen untuk merekrut penyelenggara yang memiliki kapasitas sekaligus adanya mekanisme kontrol terhadap penyelenggara pemilu untuk menjaga independensi dan akuntabilitas
Partai politik dan calon perseorangan juga belum maksimal dalam mendorong nilai-nilai demokrasi karena dalam kompetisi sering memunculkan anarkisme dan kekerasan. Selain itu pola oligarki oleh parpol dan gagalnya para kandidat untuk melakukan pendidikan politik bagi pemilih akhirnya mendorong lemahnya system hukum dalam pemilukada. Di lain pihak Masyarakat perlu menumbuhkan partisipasi dalam memilih karena partisipasi pemilih salah satu indicator kesuksesan sebuah pemilukada.
Kultur pemilu meliputi adanya kesadaran kritis bagi masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang berkualitas. Selama kultur pemilih masih berorientasi atau terjebak pada kultur politik uang akibat liberalisasi politik, maka selama itu pula pelaksanaan pemilukuda gagal memenuhi prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi. Kultur atau kesadaran hukum dalam pemilukada terlihat dari masih cukup rendahnya pemahaman masyarakat tentang mekanisme hukum yang harus ditempuh ketika berhadapan dengan persoalan yang terkait dengan penyimpangan dan pelanggaran selama berlangsung pemilukada .Sehingga perlu didorong seruan, kampanye dan pendidikan politik untuk mendorong terbentuknya pemilih yang rasional dan kritis dalam menumbuhkan kesadaran hukum dan berdemokrasi dalam pemilukada.
Ketentuan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan pemilukada merupakan elemen penting dalam pembenahan system pemilukada. Selama ini undang-undang pemilukada belum mampu sepenuhnya merespon cita dan visi negara hukum demokrasi dalam pelaksanaan pemilukada. Misalnya dalam pengaturan praktek politik uang (money politik). Praktek politik uang setidaknya bermasalah dalam dua aspek, yakni aspek idealisme demokrasi dan aturan main perundangan. Dalam konteks demokratisasi, fenomena politik uang memiliki sisi berlawanan dengan idealisme demokrasi. Dinamika demokratisasi menghendaki adanya kemandirian dan rasionalitas rakyat sebagai actor utama demokrasi. Pilihan rakyat dalam berdemokrasi harus merdeka dari tekanan dan intimidasi termasuk tekanan uang. Selain itu pilihan rakyat juga mesti berdasarkan pertimbangan rasionalitas bukan alasan yang bersifat pragmatis. Perebutan kekuasan politik seperti apapun bentuknya mesti tetap dalam idealisme demokrasi. Selama ini politik uang yang terjadi dalam pilkada menggeser fungsi pilkada sebagai media agregasi rasionalitas politik mencapai kekuasaan menjadi arena transaksi agen kapitalisme yang mengusung gagasan politik material. Sehingga pilihan politik yang lahir dari pemilu dan pilkada adalah hasil transaksi politik material bukan transaksi politik rasional dan mandiri.
Aspek kedua, politik uang juga bermasalah dalam perspektiv yuridis. Dalam konteks UU No 10 tahun 2008 tentang pemilu misalnya, disebutkan bahwa Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.(Pasal 84 ayat 1 huruf J) . Dalam UU 32 tahun 2004 tentang pilkada juga mengatur larangan politik uang, misalnya di pasal 117 ayat 2;  Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Singkatnya secara yuridis politik uang adalah sebuah pelanggaran. Namun menariknya sepanjang pelaksanaan pilkada 2005 sampai 2008 belum ada satupun kasus money politik yang dibawa ke pengadilan dan menjadi sebuah putusan final yang bisa dieksekusi. Dalam hal ini, belum ada satupun pemenang pilkada yang dianulir kemenangannya karena persoalan money politik. Kasus money politik yang terungkap dalam Kabupaten Balangan tidak mampu melengserkan pasangan bupati yang terpillih. Hal yang sama juga secara normative belum diatur soal pembatasan dana kampanye, pengaturan yang jelas dan mudah tentang penegakan hukum dalam pemilukada. Diperlukan perbaikan substansi pemilukada dalam hal ini ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara komprehensif mengatur pelaksanaan pemilukada yang meliputi harmonisasi antara stakeloders pemilukada (struktur), proses pelaksanaan yang berlangsung secara transparan, akuntabel dan partisipatif serta substansi yang mendesain lahirnya pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.














BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
 Demokrasi bukanlah kebebasan tanpa batas, tetapi dinamika demokrasi harus berada dalam bingkai nilai-nilai dan aturan hukum. Oleh karenanya bila kita ingin mewujudkan kehidupan demokrasi peganglah nilai-nilai budaya kita dan taatilah aturan hukum yang ada. Setiap manusia dimanapun berada senantiasa terikat oleh aturan atau norma kehidupan. Sebelum kemerdekaan, para pendiri negara (the founding fathers) Indonesia ternyata sudah memikirkan konsep bagi negara hukum yang kemudian dirumuskan dengan tegas dalam konstitusi. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan “Negara Indonesia adalah negara hukum“. Oleh karenanya dalam negara Indonesia yangb berdasar atas hukum (rechtsstaat ; the rule of law) setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Mahasiswa sebagai bagian intergral dari masyarakat dan warga kampus sepantasnya menjadi pelopor dalam penegakan hukum, taat dan sadar hukum.   



















Daftar Pustaka

  1. A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan; Mahkamah Agung di bawah Soeharto,.Elsam. Jakarta. 2004.
  2. B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat
  3. Buku kedua jilid II C. Risalah Sidang PAH I. Sekjen MPR RI Jakarta. 2000
  4. Franz L Neumann, The Rule Of law: Political Theory and Legal System in Modern Society, USA: Berg Piblisher, 1986
  5. Harian Fajar, edisi 14 januari 2012
  6. Irvan Mawardi. “ pemilu dalam Cengkeraman Oligarki: fenomena kegagalan demokrasi procedural”. Pukap. Makassar. 2011.
  7. Joko J. Prihatmoko; Mendemokratiskan Pemilu; dari system sampai elemen teknis; Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2008.
  8. Juniarso Ridwan & Achmad Sodik S, “ Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Publik”. Nuansa. Bandung. 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar